Saturday 16 November 2013

KONSEP ISLAM TENTANG KETUHANAN



KONSEP ISLAM TENTANG KETUHANAN
Oleh : Eddy Khairani Z


A.  Pendahuluan
Islam sebagai agama  akhir yang tetap mutakhir, mempunyai system sendiri yang bagian – bagiannya saling berhubungan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Intinya adalah tauhid yang berkembang melalui akidah, syari’ah dan akhlak melahirkan berbagai aspek ajaran Islam. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan di utamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan. Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Sebagai salah satu kerangka dalam Islam, Iman kepada Tuhan merupakan faktor utama dalam melaksanakan peribadatan, akan tetapi bagaimana sesorang bisa beriman dengan mantap apabila tidak mengetahui dengan sebenarnya siapa yang mereka Imani tersebut. Dalam sejarah dunia, banyak sekali konsep-konsep ketuhanan, dari pemikir alam (Yunani),  para filusuf baik, barat maupun filusuf Islam sendiri, kalangan teologi, Agamawan, sufi, dll. Pada makalah ini penulis ingin mengugkapkan Konsep Ketuhanan Dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

B.  Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:

 Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”

Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
  
  dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut: Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.[1]
Menurut pemikiran Barat, Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
1.    Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
2.      Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
3.    Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
4.    Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).

5.    Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. [2]
Dalam sejarahnya pencarian Tuhan diketahui bahwa pemahaman adanya Tuhan bisa melalui Filsafat dan Wahyu/Agama. Manusia yang memang mempunyai pikiran dan selalu  berfikir dan mempelajari segala sesuatu, baik yang berhungan dangan dirinya, lingkungannya maupun alam yang mengelilinginya.
Di Zaman Yunani Kuno, dimulai dari Thales yang mengungkapkan segala sesuatu berasal dari Air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu.[3]
Plato, seorang filosof Yunani yang hidup  tahun 427-348 SM. Mengembangkan konsep “Idea”. Menurutnya segala yang ada di Dunia ini tidak ada yang kekal, selalu berubah, dunia yang ditempati manusia ini adalah dunia bayang-bayang. Sedangkan dunai cita-cita (Idea) adalah dunia yang kekal, yang tidak berubah, yang selalu dicari manusia yang berfikir dan berpengatahuan. Tuhan adalah sumber kecerdasan segala sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu. [4]
Di dunia Islampun juga banyak pemikir-pemikir yang mengemukan konsep-konsep ketuhanan yang memadukan antara filsafat dan agama, seperti Al- Kindi,  Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Seperti dalam Filsafat Wujudnya Ibnu Sina terlihat adanya pembagian wujud, yakni Mumtani’ al-wujud; Segala yang ada di alam ini mustahil berwujud dengan sendirinya tanpa ada yang mewujudkannya Mumkin al-Wujad;  Segala yang ada ini bisa saja ada dan bisa juga tidak ada, seperti  alam yang pada mulanya tidak ada, kemuadian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tiada  dan Wajib Al-wujud; sesuatu yang mesti mempunyai wujud dan pasti ada yakni Tuhan. Wajib Al-Wujud inilah yang mewujudkan Mumkin Al-Wujad.[5]

C.  Tuhan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Pada pertemuan terdahulu telah disampaikan bahwa Aqidah Islam itu menyangkut Tauhid dengan penjabaran dalam Rukun Iman yang terdiri atas : Keyakinan kepada Allah SWT, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-Rasul, Hari Akhir, Qoda dan Qodhar Nya. Keyakinan kepada Allah tentu berdasarkan sumber-sumber yang Qath’i yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Dalam konsep  Tuhan dalam Islam  diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur’an terdapat 99 Nama Allah (asma’ul husna artinya: “nama-nama yang paling baik”) yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah “Maha Pengasih” (ar-rahman) dan “Maha Penyayang” (ar-rahim).[6] Seperti dalam Al-Qur’an :
  
“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu". (Q.S. Al-Isra’ : 110)
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun. Menurut al-Qur’an;
ž “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. al-An’am:103)”
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.” Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik (Nabi Ibarahim) lainnya seperti Kristen dan Yahudi.[7]
Al-Qur’an menjelaskan  bahwa Allah itulah satu-satunya Zat yang menciptakan jagat raya ini, dan hanya Dia- lah yang memberikan hukum-hukum, mengatur dan memeliharanya. Andaikata ada tuhan selain Allah, maka pastilah langit dan bumi  itu hancur dan binasa, seperti yang ditegaskan Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 22:

   
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”[8]


Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur'an yakni surah Al-'Alaq, Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk di antaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur'an adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur'an merupakan "penuturan Allah tentang diri-Nya.
Selain itu menurut Al-Qur'an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan, seperti dalam surah Al-A'raf [7]:172).
  
 “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
 Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur'an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32

 dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, Dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah Dia akan kemudharatan yang pernah Dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu Sementara waktu; Sesungguhnya kamu Termasuk penghuni neraka". (Q.S. Az-Zumar : 8) 

 “dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar” ( Q.S. Luqman : 32)
Keesaan Tuhan atau Tauīd adalah mempercayai dan mengimani dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa dan (id). Al-Qur'an menegaskan keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam semesta sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan. Menurut al-Qur'an:
šš
 “dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain. (Q.S. Al- An’am : 133)”[9]

Demikianlah konsep ketuhanan menurut Islam, sebab islam  memiliki pemahaman dan konsep yang jelas tentang ketuhanan (Uluhiyyah) yang dibangun dan diikuti dengan kaidah Ubudiyyah (akan dibahas pada perkuliahan berikutnya) kepada Allah. Konsep ini menekankan keimanan yang kuat dan keimanan yang mutlak hanya kepada Allah, dimana hal ini tercermin  dalam perilaku  individu muslim  untuk patuh  terhadap perintah dan larangan  Allah.[10] Untuk memantapkan iman kepada  Allah seorang mukmin wajib mengenal Tuhannya baik Asma, Sifat maupun Ap’alnya.

D.    Sifat-sifat yang wajib, mustahil dan Harus Bagi Allah
Menurut Sirajuddin Abbas, kita percaya seyakin-yakinnya, bahwa Tuhan itu ada ia mempunyai banyak sifat. Boleh dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat Jamal (Keindahan), sifat Jalal (Kebesaran), dan sifat Kamal (Kesempurnaan). Tetapi yang wajib diketahui dengan terperinci  oleh setiap orang Islam yang sudah baligh dan berakal, adalah Pertama, 20 sifat wajib (mesti ada) pada Allah. Kedua, 20 Sifat yang mustahil (tidak mungkin ada) pada Allah. Dan ketiga, sifat harus (boleh ada – boleh tidak) pada Allah. [11]

Sifat 20 (dua puluh) Wajib Bagi Allah Swt :
1.      Wujud : artinya ada, ketetapan dan kebenaran yang wajib bagi dzat Allah Swt yang tiada di sebabkan dengan sesuatu sebab adalah “ada”.
2.      Qidam : artinya sedia, hakikatnya adalah menafikan bermulanya wujud Allah Swt.
3.      Baqa’ : artinya kekal, Allah Swt kekal ada dan tidak ada akhirnya
4.      Mukhalafatuhu Ta’ala Lilhawadith : artinya Bersalahan Allah Swt dengan segala yang baharu, pada dzat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru, yang telah ada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada dzatnya, sifatnya atau perbuatannya.
5.      Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi : artinya berdiri Allah Swt dengan sendirinya, tidak berkehendak kepada tempat yang berdiri (pada dzat) dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya, karena ia tidak di jadikan tetapi telah jadi dengan sendirinya, dan tidak berkehendak kepada yang di jadikanNya.
6.      Wahdaniyyah : artinya satunya Allah Swt pada dzat, pada sifat dan pada perbuatanNya, tetapi bukanlah pengertiannya seperti bersatunya dzat tulang, daging, kulit dan lain sebagainya, Allah Swt bebas dari pengertian seperti itu.
7.      Qudrat : artinya kuasanya Allah Swt, satu sifat yang qadim lagi azali yang tetap berdiri pada zat Allah Swt, yang mengadakan tiap - tiap yang ada dan meniadakan tiap - tiap yang tiada.
8.      Iradah : artinya kehendaknya Allah Swt, maknanya penentuan segala tentang ada atau tiadanya, maka Allah Swt yang selayaknya menghendaki tiap - tiap sesuatu apa yang di perbuatnya, artinya kita manusia telah di tentukan dengan kehendak Allah Swt, seperti : tentang rezeki, umur, baik, jahat, kaya, miskin dan lain sebagainya
9.      Ilmu : artinya mengetahuinya Allah Swt, maknanya nyata dan terang akan meliputi dan maha mengetahui akan segala tiap – tiap, tiada yang tersembunyi dan rahasia bagiNya di alam jagat ini.
10.  Hayat : artinya hidupnya Allah Swt, ini sifat yang tetap dan qadim lagi azali pada dzat Allah Swt, ia tidak akan pernah mati, karena mati itu adalah ciptaanNya juga.
11.  Sama’ : artinya mendengarnya Allah Swt, ini sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt, tiada sesuatu apapun yang luput dari pendengarannya Allah Swt.
12.  Bashar : artinya melihatnya Allah Swt, hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt, Allah Swt wajib bersifat maha melihat pada yang dapat di lihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat, terang atau gelap, zahir atau tersembunyi dan sebagainya.
13.  Kalam : artinya : berkata - katanya Allah Swt, ini sifat yang tetap ada, yang qadim lagi azali, yang berdiri pada dzat Allah Swt, sebagai contoh adalah Al- Qur’an, ini merupakan perkataannya (kalam) Allah Swt yang abadi sepanjang masa.]
14.  Kaunuhu Qadiran : artinya keadaannya Allah Swt, ia yang berkuasa mengadakan dan mentiadakan sesuatu.
15.  Kaunuhu Muridan : artinya keadaannya Allah Swt yang menghendaki dan menentukan tiap - tiap sesuatu.
16.  Kaunuhu ‘Aliman : artinya keadaannya Allah Swt yang mengetahui akan tiap - tiap segala sesuatu.
17.  Kaunuhu Hayyun : artinya keadaannya Allah Swt yang maha hidup, melebihi dari segala sesuatu apapun juga.
18.  Kaunuhu Sami’an : artinya keadaannya Allah Swt yang mendengar akan tiap - tiap segala sesuatu yang maujud.
19.  Kaunuhu Bashiran : artinya keadaannya Allah Swt yang melihat akan tiap - tiap segala sesuatu yang maujudat (berupa sesuatu yang ada ).
20.  Kaunuhu Mutakalliman : artinya keadaannya Allah Swt yang berkata – kata, yaitu sifat yang berdiri dengan dzat Allah Swt.
Sifat Mustahil Bagi Allah Swt
Wajib pula bagi tiap muslimin dan muslimat mengetahui akan sifat - sifat yang mustahil bagi Allah Swt, yang menjadi lawan daripada sifat 20 (dua puluh) yang merupakan sifat wajib bagiNya, berikut sifat - sifat yang mustahil bagiNya :
1.      ‘Adam, artinya tiada (bisa mati)
2.      Huduth, artinya baharu (bisa di perbaharui)
3.      Fana’, artinya binasa (tidak kekal/mati)
4.      Mumathalatuhu Lilhawadith, artinya menyerupai akan makhlukNya
5.      Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (ada kerjasama)
6.      Ta’addud, artinya berbilang – bilang (lebih dari satu)
7.      ‘Ajz, artinya lemah (tidak kuat)
8.      Karahah, artinya terpaksa (bisa di paksa)
9.      Jahl, artinya jahil (bodoh)
10.  Maut, artinya mati (bisa mati)
11.  Syamam, artinya tuli
12.  ‘Umy, artinya buta
13.  Bukm, artinya bisu
14.  Kaunuhu ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya)
15.  Kaunuhu Karihan, artinya terpaksa (dalam keadaannya)
16.  Kaunuhu Jahilan, artinya jahil (dalam keadaannya)
17.  Kaunuhu Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya)
18.  Kaunuhu Asam, artinya tuli (dalam keadaannya)
19.  Kaunuhu A’ma, artinya buta (dalam keadaannya)
20.  Kaunuhu Abkam, artinya bisu (dalam keadaannya)
Sifat Ja’iz Bagi Allah Swt
Sifat ini artinya boleh bagi Allah Swt mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut juga sebagai “mumkin”.
Mumkin ialah sesuatu yang boleh ada dan tiada. Ja’iz artinya boleh - boleh saja, dengan makna Allah Swt menciptakan segala sesuatu, yakni dengan tidak ada paksaan dari sesuatupun juga, sebab Allah Swt bersifat Qudrat (kuasa) dan Iradath (kehendak), juga boleh - boleh saja bagi Allah Swt meniadakan akan segala sesuatu apapun yang ia mau.[12] Boleh atau mungkin bagi Allah menjadikan sesuatu itu ”ada” atau boleh atau mungkin membuatnya ”tidak ada”, maksudnya disini boleh melakukannya atau meninggalkannya. Allah sangat berkuasa untuk membuat sesuatu atau meninggalkannya. Contohnya, boleh atau mungkin bagi Allah menciptakan langit, bumi dan matahari dll dan dilain fihak boleh atau mungkin juga bagi Allah untuk tidak menciptakannya. Tidak wajib bagi Allah membuat sesuatu seperti menghidupkan atau mematikan tapi Allah mempunyai hak muthlaq untuk memnghidupkan atau mematikan. Tidak seorangpun dari makhluk Allah yang berhak untuk memaksa Allah untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu. Karena Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa, tidak bisa dipaksa atau dikuasai. Sedangkan usaha dan doa manusia hanya sekedar perantara untuk mengharap belas kasih Allah dalam mengabulkan apa yang diinginkan. Keputusan akhir adalah mutlak ada pada kekuasaa Allah[13]


SIFAT -  SIFAT TUHAN


Sifat Wajib
Tulisan Arab
Maksud
Sifat
Sifat Mustahil
Tulisan Arab
Maksud
Wujud
ﻭﺟﻮﺩ
Ada
Nafsiah
Adam
ﻋﺪﻡ
Tiada
Qidam
ﻗﺪﻡ
Terdahulu
Salbiah
Huduts
ﺣﺪﻭﺙ
Baru
Baqa
ﺑﻘﺎﺀ
Kekal
Salbiah
Fana
ﻓﻨﺎﺀ
Berubah-ubah (akan binasa)
Mukhalafatuhu lilhawadis
ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ
Berbeda dengan makhluk-Nya
Salbiah
Mumathalatuhu lilhawadith
ﻣﻤﺎﺛﻠﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ
Menyerupai sesuatu
Qiyamuhu binafsih
ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ
Berdiri sendiri
Salbiah
Qiamuhu bighairih
ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻐﻴﺮﻩ
Berdiri-Nya dengan yang lain
Wahdaniyat
ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ
Esa (satu)
Salbiah
Ta'addud
ﺗﻌﺪﺩ
Lebih dari satu (berbilang)
Qudrat
ﻗﺪﺭﺓ
Kuasa
Ma'ani
Ajzun
ﻋﺟﺰ
Lemah
Iradat
ﺇﺭﺍﺩﺓ
Berkehendak (berkemauan)
Ma'ani
Karahah
ﻛﺮﺍﻫﻪ
Tidak berkemauan (terpaksa)
Ilmu
ﻋﻠﻢ
Mengetahui
Ma'ani
Jahlun
ﺟﻬﻞ
Bodoh
Hayat
ﺣﻴﺎﺓ
Hidup
Ma'ani
Al-Maut
ﺍﻟﻤﻮﺕ
Mati
Sam'un
ﺳﻤﻊ
Mendengar
Ma'ani
Sami
ﺍﻟﺻمم
Tuli
Basar
ﺑﺼﺮ
Melihat
Ma'ani
Al-Umyu
ﺍﻟﻌﻤﻲ
Buta
Kalam
ﻛﻼ ﻡ
Berbicara
Ma'ani
Al-Bukmu
ﺍﻟﺑﻜﻢ
Bisu
Kaunuhu qaadiran
ﻛﻮﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭﺍ
Keadaan-Nya yang berkuasa
Ma'nawiyah
Kaunuhu ajizan
ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﺟﺰﺍ
Keadaan-Nya yang lemah
Kaunuhu muriidan
ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺮﻳﺪﺍ
Keadaan-Nya yang berkehendak menentukan
Ma'nawiyah
Kaunuhu mukrahan
ﻛﻮﻧﻪ مكرها
Keadaan-Nya yang tidak menentukan (terpaksa)
Kaunuhu 'aliman
ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﻟﻤﺎ
Keadaan-Nya yang mengetahui
Ma'nawiyah
Kaunuhu jahilan
ﻛﻮﻧﻪ ﺟﺎﻫﻼ
Keadaan-Nya yang bodoh
Kaunuhu hayyan
ﻛﻮﻧﻪ ﺣﻴﺎ
Keadaan-Nya yang hidup
Ma'nawiyah
Kaunuhu mayitan
ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻴﺘﺎ
Keadaan-Nya yang mati
Kaunuhu sami'an
ﻛﻮﻧﻪ ﺳﻤﻴﻌﺎ
Keadaan-Nya yang mendengar
Ma'nawiyah
Kaunuhu ashamma
ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺻﻢ
Keadaan-Nya yang tuli
Kaunuhu bashiiran
ﻛﻮﻧﻪ ﺑﺼﻴﺭﺍ
Keadaan-Nya yang melihat
Ma'nawiyah
Kaunuhu a'maa
ﻛﻮﻧﻪ ﺃﻋﻤﻰ
Keadaan-Nya yang buta
Kaunuhu mutakalliman
ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ
Keadaan-Nya yang berbicara
Ma'nawiyah
Kaunuhu abkam
ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺑﻜﻢ
Keadaan-Nya yang bisu

Keterangan :
-          Sifat Nafsiyyah adalah : Sifat yang menetetapkan adanya Allah dan menunjukkan kepada ZatNya Allah  tanpa ada sesuatu tambahan pada Zat. Maksud sifat yang tetap adalah : Adanya sifat tersebut pada Zat Allah yang menunjukkan Allah itu ada
-          Sifat Salabiyyah adalah sifat yang menolak segala sifat-sifat yang tidak layak dan patut bagi Allah s.w.t, sebab Allah Maha sempurna dan tidak memiliki kekurangan. Sifat Salbiyyah ada lima sifat.
-          Sifat Ma`ani adalah sifat yang keberadaannya berdiri pada Zat Allah s.w.t yang wajib baginya hukum. Sifat ini terdiri dari tujuh sifat.
-          Sifat Ma`nawiyah adalah sifat-sifat yang melazimi dari sifat Ma`ani, dengan kata lain sifat Ma`nawiyah adalah sifat yang wujud disebabkan adanya sifat Ma`ani, seperti Allah memiliki sifat kuasa, maka lazimlah Allah itu keadaannya Kuasa. Sifat Ma`nawiyah terdiri dari tujuh sifat


[1]Konsep Ketuhanan Daam Islam,http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan dalam - islam/ diakses tanggal 28 oktober 2012

 

[2]Ibid, Konsep Ketuhanan Dalam Islam,http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan dalam - islam/ diakses tanggal 28 oktober 2012

 

[4]Lihat: Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama; Titik Temu Akal Dengan Wahyu , (Jakarta: Pedoman Jaya Ilmu, 1992) , h. 33
[5]Lihat; Harun Naution,  Filsafat dan Mistisisme  Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) h.39

[6]Lihat : Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://hikmah.blog.uns.ac.id/2010/05/08/konsep-ketuhanan-dalam-islam/ diakses tanggal 25 ktober 2012, lihat juga  Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: Deponegoro, 2010), h. 39, dan Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta; Pustaka Tarbiyah Baru, 2008) Cet.8, h. 39

[7] Ibid., [7]Lihat : Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://hikmah.blog.uns.ac.id/2010/05/08/konsep-ketuhanan-dalam-islam/ diakses tanggal 25 oktober 2012
[8]Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung; PT Al-Ma’arif, 2012), cet.ke 20, h.171
[9]Tuhan Dalam Islam, http://id.wikipedia.org/wiki/Islam diakses tanggal 25 Oktober 2012 
[10]Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syari’ah; Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2012) cet.ke 3, h.1  
[11] Sirajuddin Abbas,  I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta; Pustaka Tarbiyyah Baru, 2008),cet.ke8, h.28
[12]Sifat 20 (dua puluh) Wajib Bagi Allah Swt, http://super-daus.blogspot.com/2012/03/20-sifat-wajib-dan-mustahil-bagi-allah.html diakses tanggal 25 Oktober 2012

[13] Sifat-sifat Jaiz Bagi Allah, http://hasanassaggaf.wordpress.com/2010/05/31/8-sifat-jaiz-bagi-allah/ diakses tanggal 25 Oktober 2012