KONSEP ISLAM TENTANG KETUHANAN
Oleh : Eddy Khairani Z
A. Pendahuluan
Islam sebagai
agama akhir yang tetap mutakhir,
mempunyai system sendiri yang bagian – bagiannya saling berhubungan dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan. Intinya adalah tauhid yang berkembang melalui akidah,
syari’ah dan akhlak melahirkan berbagai aspek ajaran Islam. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal
hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya,
merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan di utamakan dalam
menyempurnakan cabang-cabang keimanan. Sesungguhnya amalan lahiriah berupa
ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali
jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai
tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta
perilaku keseharian.
Sebagai salah satu kerangka dalam Islam,
Iman kepada Tuhan merupakan faktor utama dalam melaksanakan peribadatan, akan
tetapi bagaimana sesorang bisa beriman dengan mantap apabila tidak mengetahui
dengan sebenarnya siapa yang mereka Imani tersebut. Dalam sejarah dunia, banyak
sekali konsep-konsep ketuhanan, dari pemikir alam (Yunani), para filusuf baik, barat maupun filusuf Islam
sendiri, kalangan teologi, Agamawan, sufi, dll. Pada makalah ini penulis ingin
mengugkapkan Konsep Ketuhanan Dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah.
B. Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan
Perkataan ilah, yang
diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek
yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah):
23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah
dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
“ dan berkata Fir'aun: "Hai
pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah
Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan
yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku
benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di atas
menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda,
baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga
dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini),
dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak
mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang
tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
“Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan
(dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan
dirinya dikuasai oleh-Nya.”
Perkataan dipentingkan
hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai,
diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan,
dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah
sebagai berikut: Al-ilah ialah: yang
dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan
diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat
mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu
bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang
pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan
logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis
pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau
angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat
“la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan
peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim
harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang
ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.[1]
Menurut pemikiran Barat, Yang dimaksud
konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas
hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah
agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses
dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna.
Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh
EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
1. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia
sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam
kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan
ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan
nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah
(Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap
sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera,
tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
2.
Animisme
Masyarakat
primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang
dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai
sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak
senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia
tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu
usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
3. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan
kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang
lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan
tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap
cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain
sebagainya.
4. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan
terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui
diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu).
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia
masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk
satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
5. Monoteisme
Kepercayaan dalam
bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui
satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme,
dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang
(1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia
mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya
dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung
dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan
kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme
adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. [2]
Dalam sejarahnya pencarian Tuhan diketahui
bahwa pemahaman adanya Tuhan bisa melalui Filsafat dan Wahyu/Agama. Manusia
yang memang mempunyai pikiran dan selalu
berfikir dan mempelajari segala sesuatu, baik yang berhungan dangan
dirinya, lingkungannya maupun alam yang mengelilinginya.
Di Zaman Yunani Kuno, dimulai dari Thales
yang mengungkapkan segala sesuatu berasal dari Air, Anaximandros: yang tak
terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala
sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides
mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi
pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan
bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu.[3]
Plato, seorang filosof Yunani yang
hidup tahun 427-348 SM. Mengembangkan
konsep “Idea”. Menurutnya segala yang ada di Dunia ini tidak ada yang kekal,
selalu berubah, dunia yang ditempati manusia ini adalah dunia bayang-bayang.
Sedangkan dunai cita-cita (Idea) adalah dunia yang kekal, yang tidak berubah,
yang selalu dicari manusia yang berfikir dan berpengatahuan. Tuhan adalah
sumber kecerdasan segala sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu. [4]
Di dunia Islampun juga banyak
pemikir-pemikir yang mengemukan konsep-konsep ketuhanan yang memadukan antara
filsafat dan agama, seperti Al- Kindi,
Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Seperti dalam Filsafat
Wujudnya Ibnu Sina terlihat adanya pembagian wujud, yakni Mumtani’ al-wujud; Segala yang ada di alam ini mustahil berwujud
dengan sendirinya tanpa ada yang mewujudkannya Mumkin al-Wujad; Segala yang
ada ini bisa saja ada dan bisa juga tidak ada, seperti alam yang pada mulanya tidak ada, kemuadian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tiada
dan Wajib Al-wujud; sesuatu
yang mesti mempunyai wujud dan pasti ada yakni Tuhan. Wajib Al-Wujud inilah
yang mewujudkan Mumkin Al-Wujad.[5]
C. Tuhan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Pada
pertemuan terdahulu telah disampaikan bahwa Aqidah Islam itu menyangkut
Tauhid dengan penjabaran dalam Rukun Iman yang terdiri atas : Keyakinan
kepada Allah SWT, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-Rasul, Hari Akhir, Qoda dan
Qodhar Nya. Keyakinan kepada Allah tentu berdasarkan sumber-sumber yang Qath’i
yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Dalam konsep Tuhan dalam Islam diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata
dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan
Hakim bagi semesta alam. Islam
menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad),
Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur’an terdapat 99 Nama Allah (asma’ul husna artinya:
“nama-nama yang paling baik”) yang mengingatkan setiap
sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha
Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut,
yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah “Maha Pengasih” (ar-rahman)
dan “Maha Penyayang” (ar-rahim).[6] Seperti dalam Al-Qur’an :
“Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu". (Q.S. Al-Isra’ : 110)
Penciptaan dan penguasaan alam
semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama
untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya
dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus
menjelma dalam bentuk apa pun. Menurut al-Qur’an;
“Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan;
dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. al-An’am:103)”
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung
dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih
dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan
memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu
manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.” Islam mengajarkan
bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok
agama Abrahamik (Nabi Ibarahim) lainnya seperti Kristen dan Yahudi.[7]
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah itulah satu-satunya Zat yang
menciptakan jagat raya ini, dan hanya Dia- lah yang memberikan hukum-hukum,
mengatur dan memeliharanya. Andaikata ada tuhan selain Allah, maka pastilah
langit dan bumi itu hancur dan binasa,
seperti yang ditegaskan Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 22:
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan
selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah
yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”[8]
Menurut para mufasir, melalui wahyu
pertama al-Qur'an yakni surah Al-'Alaq, Tuhan menunjukkan dirinya sebagai
pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk di antaranya
konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur'an adalah kalam Allah, sehingga
semua keterangan Allah dalam al-Qur'an merupakan "penuturan Allah tentang
diri-Nya.
Selain itu menurut Al-Qur'an sendiri,
pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali
diciptakan, seperti dalam surah Al-A'raf [7]:172).
“dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum
dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu
manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan
tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan.
Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan.
Al-Qur'an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32
“dan apabila
manusia itu ditimpa kemudharatan, Dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya
dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya
kepadanya lupalah Dia akan kemudharatan yang pernah Dia berdoa (kepada Allah)
untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi
Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah:
"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu Sementara waktu; Sesungguhnya
kamu Termasuk penghuni neraka". (Q.S. Az-Zumar : 8)
“dan apabila
mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai
di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. dan tidak ada
yang mengingkari ayat- ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi
ingkar” ( Q.S. Luqman : 32)
Keesaan Tuhan atau Tauḥīd adalah mempercayai dan mengimani dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa dan (wāḥid). Al-Qur'an
menegaskan keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam
semesta sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan. Menurut
al-Qur'an:
“dan Tuhanmu Maha
Kaya lagi mempunyai rahmat. jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu
dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah),
sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain. (Q.S.
Al- An’am : 133)”[9]
Demikianlah
konsep ketuhanan menurut Islam, sebab islam
memiliki pemahaman dan konsep yang jelas tentang ketuhanan (Uluhiyyah) yang dibangun dan diikuti
dengan kaidah Ubudiyyah (akan dibahas
pada perkuliahan berikutnya) kepada Allah. Konsep ini menekankan keimanan yang
kuat dan keimanan yang mutlak hanya kepada Allah, dimana hal ini tercermin dalam perilaku individu muslim untuk patuh
terhadap perintah dan larangan
Allah.[10]
Untuk memantapkan iman kepada Allah
seorang mukmin wajib mengenal Tuhannya baik Asma, Sifat maupun Ap’alnya.
D. Sifat-sifat yang wajib, mustahil dan Harus Bagi Allah
Menurut Sirajuddin
Abbas, kita percaya seyakin-yakinnya, bahwa Tuhan itu ada ia mempunyai
banyak sifat. Boleh dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat Jamal
(Keindahan), sifat Jalal (Kebesaran), dan sifat Kamal
(Kesempurnaan). Tetapi yang wajib diketahui dengan terperinci oleh setiap orang Islam yang sudah baligh dan
berakal, adalah Pertama, 20 sifat wajib (mesti ada) pada Allah. Kedua,
20 Sifat yang mustahil (tidak mungkin ada) pada Allah. Dan ketiga,
sifat harus (boleh ada – boleh tidak) pada Allah. [11]
Sifat 20 (dua puluh) Wajib Bagi Allah Swt :
1.
Wujud : artinya ada, ketetapan dan kebenaran yang wajib bagi dzat Allah Swt
yang tiada di sebabkan dengan sesuatu sebab adalah “ada”.
2.
Qidam : artinya
sedia, hakikatnya adalah menafikan
bermulanya wujud Allah Swt.
3.
Baqa’ : artinya
kekal, Allah Swt kekal ada dan tidak ada
akhirnya
4.
Mukhalafatuhu
Ta’ala Lilhawadith : artinya Bersalahan Allah Swt dengan segala yang baharu, pada dzat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru,
yang telah ada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala
menyerupai dengan yang baharu pada dzatnya, sifatnya atau perbuatannya.
5.
Qiyamuhu Ta’ala
Binafsihi : artinya berdiri Allah Swt dengan sendirinya, tidak berkehendak kepada tempat yang berdiri (pada dzat)
dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya, karena ia tidak di jadikan
tetapi telah jadi dengan sendirinya, dan tidak berkehendak kepada yang di
jadikanNya.
6.
Wahdaniyyah :
artinya satunya Allah Swt pada dzat, pada
sifat dan pada perbuatanNya, tetapi bukanlah pengertiannya seperti bersatunya
dzat tulang, daging, kulit dan lain sebagainya, Allah Swt bebas dari pengertian
seperti itu.
7.
Qudrat : artinya
kuasanya Allah Swt, satu sifat yang qadim
lagi azali yang tetap berdiri pada zat Allah Swt, yang mengadakan tiap - tiap
yang ada dan meniadakan tiap - tiap yang tiada.
8.
Iradah : artinya
kehendaknya Allah Swt, maknanya penentuan
segala tentang ada atau tiadanya, maka Allah Swt yang selayaknya menghendaki
tiap - tiap sesuatu apa yang di perbuatnya, artinya kita manusia telah di
tentukan dengan kehendak Allah Swt, seperti : tentang rezeki, umur, baik,
jahat, kaya, miskin dan lain sebagainya
9.
Ilmu : artinya
mengetahuinya Allah Swt, maknanya nyata
dan terang akan meliputi dan maha mengetahui akan segala tiap – tiap, tiada
yang tersembunyi dan rahasia bagiNya di alam jagat ini.
10.
Hayat : artinya
hidupnya Allah Swt, ini sifat yang tetap
dan qadim lagi azali pada dzat Allah Swt, ia tidak akan pernah mati, karena
mati itu adalah ciptaanNya juga.
11.
Sama’ : artinya
mendengarnya Allah Swt, ini sifat yang
tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt, tiada sesuatu
apapun yang luput dari pendengarannya Allah Swt.
12.
Bashar : artinya
melihatnya Allah Swt, hakikatnya ialah
satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt,
Allah Swt wajib bersifat maha melihat pada yang dapat di lihat oleh manusia
atau tidak, jauh atau dekat, terang atau gelap, zahir atau tersembunyi dan
sebagainya.
13.
Kalam : artinya :
berkata - katanya Allah Swt, ini sifat
yang tetap ada, yang qadim lagi azali, yang berdiri pada dzat Allah Swt,
sebagai contoh adalah Al- Qur’an, ini merupakan perkataannya (kalam) Allah Swt
yang abadi sepanjang masa.]
14.
Kaunuhu Qadiran :
artinya keadaannya Allah Swt, ia yang
berkuasa mengadakan dan mentiadakan sesuatu.
15.
Kaunuhu Muridan :
artinya keadaannya Allah Swt yang menghendaki dan menentukan tiap - tiap sesuatu.
16.
Kaunuhu ‘Aliman :
artinya keadaannya Allah Swt yang mengetahui
akan tiap - tiap segala sesuatu.
17.
Kaunuhu Hayyun :
artinya keadaannya Allah Swt yang maha hidup,
melebihi dari segala sesuatu apapun juga.
18.
Kaunuhu Sami’an :
artinya keadaannya Allah Swt yang mendengar
akan tiap - tiap segala sesuatu yang maujud.
19.
Kaunuhu Bashiran :
artinya keadaannya Allah Swt yang melihat
akan tiap - tiap segala sesuatu yang maujudat (berupa sesuatu yang ada ).
20.
Kaunuhu
Mutakalliman : artinya keadaannya Allah Swt yang berkata – kata, yaitu sifat yang berdiri dengan dzat Allah Swt.
Sifat Mustahil Bagi Allah Swt
Wajib pula bagi tiap muslimin dan muslimat
mengetahui akan sifat - sifat yang mustahil bagi Allah Swt, yang menjadi lawan
daripada sifat 20 (dua puluh) yang merupakan sifat wajib bagiNya, berikut sifat
- sifat yang mustahil bagiNya :
1.
‘Adam, artinya tiada (bisa mati)
2.
Huduth, artinya baharu (bisa di perbaharui)
3.
Fana’, artinya binasa (tidak kekal/mati)
4.
Mumathalatuhu
Lilhawadith, artinya menyerupai akan
makhlukNya
5.
Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (ada kerjasama)
6.
Ta’addud, artinya berbilang – bilang (lebih dari satu)
7.
‘Ajz, artinya lemah (tidak kuat)
8.
Karahah, artinya terpaksa (bisa di paksa)
9.
Jahl, artinya jahil (bodoh)
10.
Maut, artinya mati (bisa mati)
11.
Syamam, artinya tuli
12.
‘Umy, artinya buta
13.
Bukm, artinya bisu
14.
Kaunuhu ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya)
15. Kaunuhu Karihan, artinya terpaksa
(dalam keadaannya)
16. Kaunuhu Jahilan, artinya jahil (dalam
keadaannya)
17.
Kaunuhu Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya)
18.
Kaunuhu Asam, artinya tuli (dalam keadaannya)
19.
Kaunuhu A’ma, artinya buta (dalam keadaannya)
20. Kaunuhu Abkam, artinya bisu (dalam
keadaannya)
Sifat Ja’iz Bagi Allah
Swt
Sifat ini
artinya boleh bagi Allah Swt mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu
atau di sebut juga sebagai “mumkin”.
Mumkin ialah sesuatu yang boleh ada dan tiada.
Ja’iz artinya boleh - boleh saja, dengan makna Allah Swt menciptakan segala
sesuatu, yakni dengan tidak ada paksaan dari sesuatupun juga, sebab Allah Swt
bersifat Qudrat (kuasa) dan Iradath (kehendak), juga boleh - boleh saja bagi
Allah Swt meniadakan akan segala sesuatu apapun yang ia mau.[12] Boleh atau mungkin bagi Allah menjadikan sesuatu
itu ”ada” atau boleh atau mungkin membuatnya ”tidak ada”, maksudnya disini
boleh melakukannya atau meninggalkannya. Allah sangat berkuasa untuk membuat
sesuatu atau meninggalkannya. Contohnya, boleh atau mungkin bagi Allah
menciptakan langit, bumi dan matahari dll dan dilain fihak boleh atau mungkin
juga bagi Allah untuk tidak menciptakannya. Tidak wajib bagi Allah membuat
sesuatu seperti menghidupkan atau mematikan tapi Allah mempunyai hak muthlaq
untuk memnghidupkan atau mematikan. Tidak seorangpun dari makhluk Allah yang berhak
untuk memaksa Allah untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu. Karena Allah
adalah Dzat yang Maha Kuasa, tidak bisa dipaksa atau dikuasai. Sedangkan usaha
dan doa manusia hanya sekedar perantara untuk mengharap belas kasih Allah dalam
mengabulkan apa yang diinginkan. Keputusan akhir adalah mutlak ada pada
kekuasaa Allah[13]
SIFAT -
SIFAT TUHAN
Sifat Wajib
|
Tulisan Arab
|
Maksud
|
Sifat
|
Sifat Mustahil
|
Tulisan Arab
|
Maksud
|
Wujud
|
ﻭﺟﻮﺩ
|
Ada
|
Nafsiah
|
Adam
|
ﻋﺪﻡ
|
Tiada
|
Qidam
|
ﻗﺪﻡ
|
Terdahulu
|
Salbiah
|
Huduts
|
ﺣﺪﻭﺙ
|
Baru
|
Baqa
|
ﺑﻘﺎﺀ
|
Kekal
|
Salbiah
|
Fana
|
ﻓﻨﺎﺀ
|
Berubah-ubah (akan binasa)
|
Mukhalafatuhu lilhawadis
|
ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ
|
Berbeda dengan makhluk-Nya
|
Salbiah
|
Mumathalatuhu
lilhawadith
|
ﻣﻤﺎﺛﻠﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ
|
Menyerupai sesuatu
|
Qiyamuhu binafsih
|
ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ
|
Berdiri sendiri
|
Salbiah
|
Qiamuhu bighairih
|
ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻐﻴﺮﻩ
|
Berdiri-Nya dengan yang
lain
|
Wahdaniyat
|
ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ
|
Esa (satu)
|
Salbiah
|
Ta'addud
|
ﺗﻌﺪﺩ
|
Lebih dari satu (berbilang)
|
Qudrat
|
ﻗﺪﺭﺓ
|
Kuasa
|
Ma'ani
|
Ajzun
|
ﻋﺟﺰ
|
Lemah
|
Iradat
|
ﺇﺭﺍﺩﺓ
|
Berkehendak (berkemauan)
|
Ma'ani
|
Karahah
|
ﻛﺮﺍﻫﻪ
|
Tidak berkemauan (terpaksa)
|
Ilmu
|
ﻋﻠﻢ
|
Mengetahui
|
Ma'ani
|
Jahlun
|
ﺟﻬﻞ
|
Bodoh
|
Hayat
|
ﺣﻴﺎﺓ
|
Hidup
|
Ma'ani
|
Al-Maut
|
ﺍﻟﻤﻮﺕ
|
Mati
|
Sam'un
|
ﺳﻤﻊ
|
Mendengar
|
Ma'ani
|
Sami
|
ﺍﻟﺻمم
|
Tuli
|
Basar
|
ﺑﺼﺮ
|
Melihat
|
Ma'ani
|
Al-Umyu
|
ﺍﻟﻌﻤﻲ
|
Buta
|
Kalam
|
ﻛﻼ ﻡ
|
Berbicara
|
Ma'ani
|
Al-Bukmu
|
ﺍﻟﺑﻜﻢ
|
Bisu
|
Kaunuhu qaadiran
|
ﻛﻮﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭﺍ
|
Keadaan-Nya yang berkuasa
|
Ma'nawiyah
|
Kaunuhu ajizan
|
ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﺟﺰﺍ
|
Keadaan-Nya yang lemah
|
Kaunuhu muriidan
|
ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺮﻳﺪﺍ
|
Keadaan-Nya yang berkehendak menentukan
|
Ma'nawiyah
|
Kaunuhu mukrahan
|
ﻛﻮﻧﻪ مكرها
|
Keadaan-Nya yang tidak menentukan (terpaksa)
|
Kaunuhu 'aliman
|
ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﻟﻤﺎ
|
Keadaan-Nya yang mengetahui
|
Ma'nawiyah
|
Kaunuhu jahilan
|
ﻛﻮﻧﻪ ﺟﺎﻫﻼ
|
Keadaan-Nya yang bodoh
|
Kaunuhu hayyan
|
ﻛﻮﻧﻪ ﺣﻴﺎ
|
Keadaan-Nya yang hidup
|
Ma'nawiyah
|
Kaunuhu mayitan
|
ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻴﺘﺎ
|
Keadaan-Nya yang mati
|
Kaunuhu sami'an
|
ﻛﻮﻧﻪ ﺳﻤﻴﻌﺎ
|
Keadaan-Nya yang mendengar
|
Ma'nawiyah
|
Kaunuhu ashamma
|
ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺻﻢ
|
Keadaan-Nya yang tuli
|
Kaunuhu bashiiran
|
ﻛﻮﻧﻪ ﺑﺼﻴﺭﺍ
|
Keadaan-Nya yang melihat
|
Ma'nawiyah
|
Kaunuhu a'maa
|
ﻛﻮﻧﻪ ﺃﻋﻤﻰ
|
Keadaan-Nya yang buta
|
Kaunuhu mutakalliman
|
ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ
|
Keadaan-Nya yang berbicara
|
Ma'nawiyah
|
Kaunuhu abkam
|
ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺑﻜﻢ
|
Keadaan-Nya yang bisu
|
Keterangan :
-
Sifat
Nafsiyyah adalah : Sifat yang menetetapkan adanya Allah dan menunjukkan kepada
ZatNya Allah tanpa ada sesuatu tambahan pada Zat. Maksud sifat yang tetap
adalah : Adanya sifat tersebut pada Zat Allah yang menunjukkan Allah itu ada
-
Sifat
Salabiyyah adalah sifat yang menolak segala sifat-sifat yang tidak layak dan
patut bagi Allah s.w.t, sebab Allah Maha sempurna dan tidak memiliki kekurangan.
Sifat Salbiyyah ada lima sifat.
-
Sifat
Ma`ani adalah sifat yang keberadaannya berdiri pada Zat Allah s.w.t yang wajib
baginya hukum. Sifat ini terdiri dari tujuh sifat.
-
Sifat
Ma`nawiyah adalah sifat-sifat yang melazimi dari sifat Ma`ani, dengan kata lain
sifat Ma`nawiyah adalah sifat yang wujud disebabkan adanya sifat Ma`ani,
seperti Allah memiliki sifat kuasa, maka lazimlah Allah itu keadaannya Kuasa. Sifat Ma`nawiyah terdiri dari tujuh
sifat
[1]Konsep Ketuhanan Daam Islam,http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan – dalam - islam/ diakses tanggal 28 oktober 2012
[2]Ibid, Konsep Ketuhanan Dalam Islam,http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan – dalam - islam/ diakses tanggal 28 oktober 2012
[3]http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/08/filsafat-zaman-yunani-kuno.html Diakses tanggal 09
November 2012
[4]Lihat: Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama; Titik Temu Akal Dengan Wahyu , (Jakarta:
Pedoman Jaya Ilmu, 1992) , h. 33
[5]Lihat; Harun Naution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973) h.39
[6]Lihat : Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://hikmah.blog.uns.ac.id/2010/05/08/konsep-ketuhanan-dalam-islam/ diakses tanggal 25 ktober 2012, lihat juga Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: Deponegoro, 2010), h. 39, dan Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta; Pustaka Tarbiyah Baru, 2008) Cet.8, h. 39
[7] Ibid., [7]Lihat : Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://hikmah.blog.uns.ac.id/2010/05/08/konsep-ketuhanan-dalam-islam/ diakses tanggal 25 oktober 2012
[10]Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen
Syari’ah; Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada,2012) cet.ke 3, h.1
[11] Sirajuddin Abbas, I’tiqad
Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta; Pustaka Tarbiyyah Baru, 2008),cet.ke8,
h.28
[12]Sifat 20 (dua puluh) Wajib Bagi Allah Swt, http://super-daus.blogspot.com/2012/03/20-sifat-wajib-dan-mustahil-bagi-allah.html diakses tanggal 25 Oktober 2012
[13] Sifat-sifat Jaiz Bagi
Allah, http://hasanassaggaf.wordpress.com/2010/05/31/8-sifat-jaiz-bagi-allah/ diakses tanggal 25
Oktober 2012