Saturday 12 October 2013

JODOHKU

Ada yang resah, bilangan tahun makin bertambah pada usia. Namun tak juga sampai pada masa untuk memesan undangan walimah, lalu menyebarkannya pada sahabat, tetangga dan saudara dengan suka cita.
Ada yang mulai gelisah, saat teman-teman seangkatan, bahkan adik kelas mulai berfoto dengan anak-anaknya, sudah dua, tiga bahkan berlima, dengan senyum yang bahagia. Lalu hati pun bertanya, kapan giliran saya?
Ada yang mulai meragukan kesabarannya sendiri untuk bertahan. Lalu perlahan-lahan mengubah penampilan, melobi karakter kebaikan yang dulu disyaratkan untuk calon pendamping. Ada yang mulai melunak, tak lagi memilih-milih karakter keimanan dan kebaikan yang dulu disyaratkan sebagai calon qawwamnya dalam rumah tangga. Akhirnya berakhir pada ucapan, “wis sopo wae lah sing tekko” (sudah, siapa saja lah yang datang).ada yang mulai ragu bahwa dengan tetap menjaga keimanan dan kesabarannya, ia akan mendapatkan jodoh yang layak di mata Allah.
Ada ratusan kali, mungkin ribuan bahkan jutaan kali berdoa agar didekatkan jodoh yang baik dan tepat untuk nya, namun tak kunjung dikabulkan oleh Allah. Lalu akhirnya marah, perlahan meragukan Maha Rahmannya Allah. Akhirnya tak lagi khusyuk meminta, bahkan berhenti berharap dan berdoa.
Ada yang akhirnya menyambut siapa saja dengan tangan terbuka, setiap sms yang membuat hatinya berbunga, mengiyakan tawaran makan malam, dan jalan-jalan yang datang padanya. Menjajaki setiap orang yang dirasa ‘potensial’ menjadi pendamping hidupnya. Terus menjalani ‘petualangan cinta’ sampai ketemu yang paling cocok dan berani melamarnya. “Siapa tahu jodoh”, begitu kata hatinya. Keyakinannya menjadikan dia seperti pembeli sepatu, berganti-ganti sampai model, harga dan ukurannya pas di kaki.

Jodohku: Luar biasa hingga kita bertemu
Orang yang akhirnya menjadi suami istri, suatu saat akan menyadari betapa luar biasanya ‘garis hidup’ yang dibuat Allah hingga mempertemukan mereka berdua. Sampai pada saya beberapa kisah, yang membuat saya akhirnya berkata “Subhanallah, Maha Suci Allah”. Baru menyadari makna kata “wa min aayaatihii” pada Ar-Rum 21: ayat yang banyak dinukil pada kartu undangan walimah. Mari kita renungkan lagi “Dan di antara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir)
Sampai pada saya beberapa kisah nyata tentang teman, kerabat dan beberapa kenalan:
1. Saya memanggilnya bu Aisy, guru TK saya. Memakai busana muslimah ke mana saja sejak masih muda. Selalu tersenyum ramah dan mengingat nama kami, muridnya. Lama tak bertemu, bahkan sampai saya kuliah, beliau juga belum menikah. Baru ketika saya hampir lulus kuliah, ibu yang pernah menjadi teman sepengajiannya itu akhirnya mengabarkan berita walimah bu Aisy. Mungkin usianya ketika menikah itu sudah lebih 50 tahun, masih ‘gadis’ insya Allah. Seorang ustadz dari sebuah organisasi keislaman terkemuka, melamarnya. Duda dengan anak-anak dan cucu yang shalih-shalihah insya Allah.  Ketika lebaran tiba, saya melihat ruang tamunya bertambah ramai: ikhwan-akhwat beserta cucu-cucu yang lucu kini meramaikan rumahnya, membuat pelangi di hatinya. Puluhan tahun kesabaran yang berbuah indah.
2. Ini cerita teman dari teman sekamar saya. Tetangganya menikah, ramai tamu menghadiri undangannya. Mereka berdua baru saja melaksanakan ijab-kabul, langsung duduk berdua di pelaminan menyalami tamu undangan. Belum sempat masuk kamar untuk berdua menikmati kehalalan suami istri. Tiba-tiba sang mempelai lelaki berkata pada istrinya:”dadaku sakit dek”, lalu sang istri memapahnya duduk di kursi pelaminan. Beberapa menit kemudian, mempelai lelaki itu meninggal di kursi pelaminannya. Masih memakai baju pengantinnya.
3. Menonton sebuah program bincang-bincang keislaman di sebuah televisi swasta, dihadirkan sepasang suami istri yang perbedaan usia keduanya 20 tahun lebih. Otak saya masih loading, memastikan beberapa fakta: ketika sang lelaki berumur dua puluh tahun lebih (sekiranya ia sekolah terus, maka kira-kira sudah lulus kuliah): ketika itu ‘jodohnya’ baru lahir ke dunia. Ya lahir sebagai seorang bayi, lalu baru dua puluh tahun kemudian mereka menikah.
4. Ini cerita dari adik kelas saya, bapak-ibunya berasal dari desa yang berbeda di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Tapi mereka berdua memutuskan menikah, justru ketika kedua keduanya dipertemukan Allah saat merantau untuk bekerja di Kalimantan. Jodoh yang ternyata dekat, tapi Allah (mungkin) menginginkan mereka melakukan perjalanan ribuan kilometer jauhnya, hingga sampai pada koordinat tempat mereka bertemu, dan waktu yang tepat untuk menikah. Ada pula yang bapaknya lahir dan besar di Kalimantan, Ibunya lahir dan besar di Sumatra, tapi dipertemukan dan memutuskan menikah saat masing-masing tinggal sementara waktu di Pulau Jawa. Ya, masing-masing menempuh jalan panjang, mengambil banyak keputusan penting sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Ya keputusan penting itu bisa berupa; mau sekolah di mana, diterima kuliah di jurusan apa, di kota mana, bekerja di mana, pindah bekerja di mana, berteman dengan siapa dan seterusnya.
5. kita mungkin juga pernah tahu lewat media massa, ada seorang artis dengan tubuh (maaf) ‘kerdil’, akhirnya menikah dengan perempuan bertubuh normal, cantik dan akhirnya mereka menikah dan punya anak. Kita juga mungkin kadang terheran-heran, dengan ‘rumus jodoh’ ketika bertemu dengan seorang yang sangat cantik dan memiliki suami yang ‘sangat biasa saja’, atau sebaliknya dalam pandangan kita.
Jika ditambahkan akan semakin panjang daftar kisahnya. Dengan berbagai nama, waktu, tempat dan lakon yang berbeda-beda. Tapi setidaknya dari berbagai kisah yang dekat, dan terjadi di sekitar kita bisa berpikir, merenungkan dan mengambil kesimpulan-kesimpulan.

Kesimpulan-kesimpulan yang sebenarnya (semua orang) Tahu!
Jodoh dan berjodoh, adalah bagian dari Keputusan Allah, penetapan Allah atas manusia. Urusan jodoh dan berjodoh, bukan sebuah urusan kecil dan main-main, karena Allah tak pernah main-main dalam menciptakan manusia, menentukan rezeki, dan perjalanan hidup hingga matinya manusia. Allah tak sedang ‘mengocok lotre’ dan mengundi seperti arisan ketika menentukan jodoh seseorang. Maka jika kita memiliki harapan tentang calon pendamping hidup kita, menginginkan agar kita segera dipertemukan dengan jodoh kita, maka mintalah pada Allah! Bicaralah pada Allah! Mendekatlah pada Allah! Bulatkan, kuatkan, kencangkan keyakinan kita pada Allah. Apa yang tidak mungkin bagi kita, adalah sangat mudah bagi Allah.
Justru karena kita tidak tahu siapa jodoh kita, kapan bertemunya, bagaimana akhir kisahnya di dunia dan akhirat: maka hidup kita menjadi lebih indah, berwarna dan bermakna. Karena kita akan menjalani kemanusiaan kita dengan tetap menjadi hamba Allah. Menikmati indahnya berjuang, menikmati kesungguh-sungguhan ikhtiar, menikmati indahnya meminta pada Allah, menikmati indahnya memohon pertolongan pada Allah, menikmati indahnya bersabar, menikmati ‘kejutan’-kejutan yang Allah hadirkan dalam kehidupan kita
Kita tidak bisa mengajukan proposal pada Allah. Kita tidak bisa memaksa Allah: pokoknya dia ya Allah, maunya kau dia yang jadi jodohku ya Allah. Kita tidak bisa menguasai dalamnya hati manusia, kita tak bisa membatasi akal pikiran manusia. Ya karena kita tidak berkuasa atas kehidupan dan kematian manusia, atas berbolak-baliknya hati manusia: karena itu kita tak boleh melabuhkan cinta terbesar kita pada manusia. Kita labuhkan saja cinta terbesar kita pada Allah, yang dengan kecintaan itu lalu Allah melabuhkan cinta manusia yang bertaqwa dalam hati kita. Sehingga taqwa itu yang membuat kita berjodoh dengan orang yang bisa menumbuhsuburkan cinta kita pada Allah. Karena taqwa yang dirajut selama pernikahan yang barakah itu, mudah-mudahan kita berjodoh hingga ke surga. Bukankah ini lebih indah?
Sungguh jodoh tidak berjalan linier di atas garis kecantikan, ketampanan, kekayaan, kedekatan geografis. “Rumus jodoh’ bukan ditentukan oleh hukum kepantasan manusia. Karena manusia hanya tahu permukaannya, berpikir dalam kesempitan ilmunya, memutuskan dalam pengaruh hawa nafsunya. ‘Rumus jodoh’ semata-mata kepunyaan Allah. Karena itu, sebagai hamba kita hanya mampu menerima keputusan Allah. Menyiapkan diri untuk menerima apapun keputusan Allah. Menyiapkan seluas-luas kesabaran, keikhlasan, sebesar-besar keimanan untuk menerima ‘jatah jodoh’ yang berupa pendamping hidup, rezeki, dan lainnya.
Ya, menunggulah dalam kesibukan memperbaiki diri. Menunggulah dalam kesibukan beramal shalih, persubur silaturahim dan mendoakan saudara seiman. Kita tidak bisa mempersiapkan orang yang akan menjadi jodoh kita. Kita tidak punya kendali untuk mengatur orang yang ‘akan jadi jodoh kita’. Kita hanya bisa mempersiapkan diri kita. Membekali diri dengan segala kemampuan, keterampilan, sikap hati untuk menjalankan peran-peran dalam pernikahan. Ketika saat itu tiba, ijab qabul sah, seketika itu seperangkat peran diserahkan di pundak kita. Allah menyaksikan! Seketika itu kita akan menjadi istri/suami, menantu, ipar, anggota masyarakat baru. Dan seketika itu pula, tak cukup lagi waktu mempersiapkan diri. Ya, pernikahan bukan awal, jadi jangan berpikir untuk baru belajar, baru berubah setelah menikah.
Hidup itu adalah seni menerima, bukan semata-mata pasrah. Tapi penerimaan yang membuat kita tetap berjuang untuk mendapatkan ridha Allah. Karena apapun yang kita terima dari Allah, semuanya adalah pemberian, harta adalah pemberian, pendamping hidup adalah pemberian, ilmu, anak-anak, kasih sayang, cinta dan semua yang kita miliki hakikatnya adalah pemberian Allah. Semuanya adalah ujian yang mengantarkan kita pada perjuangan mendapatkan keridhaan Allah. Menerima dan bersyukur adalah kunci bahagia, bukan berburuk sangka dan berandai-andai atas apa yang belum diberikan Allah.
Dan apa saja yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal, tidakkah kamu mengerti” (QS. al-Qashash: 60)
Menikah bukan akhir, bukan awal, ia setengah perjuangan. Pernikahan berarti peran baru, tanggungjawab baru, tantangan baru: bagian dari daftar yang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban dari kita di yaumil akhir.
Tentang berjodoh itu, adalah tentang waktu, tentang tempat, tentang masa. Dan yang kita sebutkan tadi semua ada dalam genggaman Allah. Bukankah dalam surat al-ashr Allah bersumpah dengan waktu. “Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Ya, agar tak bosan, resah dan merugi saat menanti saat walimah tiba, sibuklah memperbaiki iman, amal dan tetap setia dalam kebenaran dan kesabaran.
Menikah dan mendapat pendamping hidup itu tidak pasti, ada banyak orang yang meninggal ketika masih bayi atau remaja. Tapi Mati itu sebuah kepastian. Orang yang menikah pun juga akan mati. Jangan terlalu galau, ada perkara yang lebih besar dari sekedar status menikah atau tidak menikah. Hidup itu bukan semata-mata perjuangan mendapatkan pendamping hidup. Karena yang telah menikah pun, harus terus berjuang agar mereka diberikan rahmat oleh Allah untuk tetap ‘berjodoh’ hingga ke surga, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini :
“(Yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’du 23-24).

HAKEKAT KEBAHAGIAAN

Menurut Imam Al-Ghazali hakekat kesempurnaan kebahagiaan  itu tergantung  kepada tiga kekuatan:
a. Kekuatan marah
b. Kekuatan Syahwat
c. Kekuatan Ilmu
untuk memperoleh kebahagiaan maka manusia harus berjalan di antara atau di tengah-tengah ketiga kekuatan tersebut. Jangan berlebih-lebihan  menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan  mempermudah yang sukar dan membawa kebinasaan. jangan pula berlebih-lebihan  pada kekuatan syahwat sehingga menjadi seorang yang humuq (pandir), yang juga berakibat pada kerusakan. Maka jiga kekuatan marah dan kekuatan syahwat dipergunakan pada tengah-tengah, maka akan luruslah jalannya menuju petunjuk Tuhan. Kalau marah terletak di tengah-tengan, timbullah kesabaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanian, dan segala pekerjaan dapatlah  dikerjakan  menurut hikmat.
Demikian pula dengan Syahwat, apabila selalau memperturutkan syahwat, bisa menjadi fasiq (melanggar perintah Tuhan), kalau syahwat kurang teguh, maka hati akan lemah dan menjadi pemalas. Kalau syahwat berjalan di tengah-tengan maka akan menimbulkan Iffah, artinya dapat memerintah diri sendiri, dan qana'ah, yakni cukup dengan apa yang ada serta tidak berhenti untuk berusaha.







Friday 4 October 2013

PENGANTAR TAFSIR TARBAWI



PENGANTAR TAFSIR TARBAWI
Oleh : Eddy Khairani Z, S.Ag, M.Pd.I



A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad _ sebagai mu’jizat yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawattir serta membacanya adalah ibadah.  Al-Qur’an diturunkan tidak hanya kepada manusia tetapi juga jin agar bisa dijadikan petunjuk (hudan) dan pembeda (furqan) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah:

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. 2:185)

Allah menurunkan al-Qur’an untuk dibaca dengan penuh penghayatan (Tadabbur), meyakini kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman,” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82). Juga firman Allah , “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (QS. 47:24).
Agar bisa mewujudkan perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata; Apabila anda ingin mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, maka pusatkanlah hati dan pikiran anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah pendengaran anda baik-baik karena Allah berfirman,” Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.[1]
Al-Qur’an  adalah sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan totalitas  kehidupan manusia. Dalam kenyataan emperik, tidak dapat dipungkiri, bahwa ketika sumber ajaran itu hendak dihapami dan dikomunikasikan  dengan kehidupan manusia  yang pluralistic, diperlukan keterlibatan pemikiran  yang merupakan kreatifitas manusia.[2]
Kemempuan setiap orang dalam memahami al-Qur’an, tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya sedemikian gambalang jelas dan rinci. Perbedaan daya nalar  di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan  lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedangkan kaum cendikiawan  dan terpelajar   akan dapat memahami  dan menyingkap  makna-maknanya  secara menarik. Dengan adanya dua macam kelompok yang berbeda ini  tentu tidaklah mengherankan  jika al-Qur’an  mendapatkan perhatian  besar dari umat Islam.[3] 
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT.  tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan berupa tafsir Al-Qur’an.[4]

B.       Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa mengikuti wazan “taf’il” yang artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan  dharaba – yadhibu” dan Nashara – Yanshuru”. Kata At-Tafsir mempunyai  arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup atau menyingkap kan maksud  suatu lafazh yang  musykil. [5]
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT  yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna - maknanya,  menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[6]
Abu Hayyan, seperti yang ditulis Manna Al-Qaththan mendefinisikan  tafsir sebagai ilmu yang membahas  tentang cara pengucapan lafazh – lafazh al-Qur’an, indikator-indikatornya , masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur  lafazh yang melengkapinya.
Menurut Az-Zarkasi, Tafsir adalah ilmu untuk  memahami Kitabullah yang diturunkan  kepada Nabi Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[7]


C.     Corak dan Metode Tafsir
Seperti yang kita ketahui Rasulullah SAW merupakan orang yang pertama yang berhak menafsirkan al-Qur’an yang disebut dengan mufassir awal, karena pada masa Nabi segala persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Lain halnya pada penafsiran masa sahabat digunakan beberapa pendekatan, antara lain :
1.      Pendekatan dengan al-Qur’an itu sendiri; Corak tafsir yang menggunakan metode ini adalah bahwa ayat yang masih bersifat global  terdapat penjelasannya pada ayat lain. Begitu juga ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat penjelasan pada ayat lain yang bisa dijadikan qiyas atau yang mengkhususkannya.
2.      Penafsiran dikembalikan kepada Nabi; hal ini dilakukan terutama para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat dari Al-Qur’an.
3.      Pemahaman dan ijtihad sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan apabila tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam Kibab Allah dan juga tidak menemukannya dari penjelesan Nabi SAW. Diantara para sahabat nabi yang paling terkenal dalam bidang tafsir adalah Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain.[8]   
Menurut Abuddin Nata, dalam sejarah tafsir al-Qur’an ada beberapa corak dan pendekatan yang digunakan para mufassir  dalam menafsirkan al-Qur’an. Ada yang menggunakan pendekatan kebahasaan, pendekatan Akhlak, Pendekatan Ilmu balaghah, pendekatan filsaafat, pendekatan teologi, pendekatah hukum, pendekatan sufi dan masih banyak lagi yang lainnya. Sedangkan dari segi metode yang digunakan, dijumpai adanya penafsiran secara tahlili atau tajz’i, dan ada yang bersifat tematik (maudhu’i).[9]
Ada berbagai bentuk tafsir Al-Qur’an, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada dua, yaitu:
1.       Tafsir bi Al-Ma’tsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat. Tafsir bi Al-Ma’tsur yang terkenal antara lain: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As Samarkandy, tafsir Ad Durul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Suyuthi), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al Baghawy, dan tafsir Baqy bin Makhlad.


2.      Tafsir bi Ar-Ra’yi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang disebabkan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu tafsir membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk benar dan salah. Beberapa tafsir bi Ra’yi yang terkenal antara lain: tafsir Al Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir Al-Khazin.
Seperti di ungkapkan di atas selain corak yang berbeda , metode tafsir juga bermacam-macam. Yakni : Metodologi tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaron, dan maudlu’i.
1.      Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.

2.        Metode Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.

3.        Metode Muqarran
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau  antara pendapat-pendapat  para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4.        Metode Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.[10]

D.    Tafsir Tarbawi
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia adalah merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk  serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Agar  al-Qur-an berguna sesuai dengan fungsi-fungsinya, al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya.[11]
Upaya pencarian makna kitab suci tercermin dalam  berbagai kajian, baik secara tektual maupun kontekstual dan bahkan dalam bentuk sentesa sebuah disiplin akademik. Hal ini agar nilai-nilai kitab suci dapat lebih membumi, diantaranya adalah melalui gagasan tafsir tarbawi. Tafsir Tarbawi yang merupakan ijtihad akademisi tafsir, berupaya mendekati al-Qur’an  melalui sudut pandang pendidikan, baik dari segi  teoretik maupu  praktik. Ijtihat ini diharapkan dapat mewacanakan  sebuah paradikma  tentang konsep pendidikan yang dilandaskan  kepada kitab suci dan mampu untuk di implementasikan   sebagai nilai – nilai dasar dalam pendidikan.[12]
Dalam istilah Indonesia, kata pendidikan dan pengajaran  hampir-hampir menjadi kata  padanan yang setara (majemuk) untuk menunjukkan  pada sebuah kegiatan atau proses transformasi, baik ilmu maupun nilai, dan dalam al-Qur’an sendiri juga tidak membedakannya. Jika kita telusuri secara mendalam di dalam al-Qur’an  terdapat beberapa istilah  yang mengacu pada terminologi Pendidikan dan Pengajaran, diantaranya adalah tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan tazkiyah.[13]
Kata Tarbiyah berasal dari bahasa arab yaitu: rabbi-yurabbi-tarbiyah, yang berarti raja/penguasa, tuan, pengatur, penanggung jawab, pemberi nikmat. Istilah tarbiyah dapat diartikan sebagai proses  penyampaian atau pendampingan terhadap anak yang di empu sehingga dapat mengantarkan  masa kanak-kanak tersebut kearah yang lebih baik,[14] dengan beberapa prinsif  yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap hubungan manusia, baik antara manusia dengan Khaliqnya, maupun manusia dengan alam raya.[15] Dengan demikian upaya pemahaman al-Qur’an yang diyakini keuniversalannya telah memunculkan berbagai terminologi yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur’an. Hadirnya terminology Tafsir Tarbawi dalam hal ini merupakan sebuah metode pemahaman kitab suci (tafsir)  yang dilihat  dari sisi  pendidikan dengan lebih memperhatikan corak pendidikan  dalam memberikan analisisnya.[16]
Dalam pendidikan Islam, sasaran yang ingin dicapai adalah melakukan pengaturan dan pembinaan dari segenap aspek potensial manusia agar mencapai kesempurnaan.[17] Di sisi lain, manusia sebagai mahluk multi dimensi memiliki banyak aspek potensial dari mulai aspek material (jasmani), hingga immaterial (akal dan jiwa). Untuk itulah, maka Allah mengutus Rasul sebagai pendidik yang dalam al Qur'an disebutkan bertugas sebagai penyampai informasi Tuhan (yatlu 'alaihim ayatih), menyucikan yang berarti mendidik (yuzakkîhim) dan mengajar yang tidak lain menanamkan pengetahuan (yuallimuhum) baik yang berkaitan dengan alam fisika maupun metafisika.
Tujuan pendidikan islam (tarbiyyah) tidak hanya bersifat immanent, tetapi juga transenden. Sebab target yang ditetapkannya adalah melahirkan kesempurnaan manusia agar tercipta mahluk  dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia-akhirat, atau ilmu dan iman.
Karena tujuan itu, maka pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu, kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Kebutuhan pengetahuan akan kitab suci (tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada aspek-aspek berikut.
1.      Tafsir sebagai basis keimanan yang merupakan pengetahuan tertinggi nilainya, dan terdasar kedudukannya dalam susunan pengetahuan manusia sebelum pengetahuan keilmuan yang lain.
2.      Tafsir sebagai konfirmasi terhadap kebenaran yang diungkap dalam pengetahuan eksploratif. Artinya pengetahuan keimanan (informatif) dalam pendidikan Islam dan pengetahuan ekploratif harus saling menguatkan dan membenarkan.
3.      Tafsir berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna akan pengetahuan eksploratif yang belum tuntas. Artinya tafsir harus dapat memberi penjelasan tentang fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan eksploratif.
4.      Tafsir berfungsi sebagai pengisi nilai (value filler) terhadap pengetahuan eksploratif. Artinya tafsir dimaksudkan sebagai pengetahuan yang dapat mewarnai pengetahuan ekspolaratif agar tidak bebas nilai melalui penanaman nilai-nilai transendent dan etika/moral.
5.       Tafsir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pesan-pesan ketuhanan agar dapat ditangkap oleh manusia. Dengan kata lain, tafsir merupakan sarana untuk memberikan kesan membumi (indegenous) terhadap pesan-pesan Ilahi yang bersifat suci dan transenden.[18]
Tafsir dalam wacana ilmiah yang konstruktif, adalah merupakan lembaga ilmiah  yang sudah diterima oleh mayoritas  kelompok  sesuai dengan corak dan versi masing-masing. Sebagai konsekwensi logisnya  akan muncul berbagai polaritas dan pluralitas pendekatan  sesuai dengan  kecenderungan  yang dapat dipandang sebagai bias subyetifitas mufassirnya. Oleh karena itu, dalam dunia islam  didapati tafsir yang bermacam corak, hal ini tentu karena berdasarkan disflin ilmu dan subyaktifitasnya  masing-masing, tidak terkecuali para ahli pendidikan dengan tafsir tarbawinya.[19] 

 

DAFTAR PUSTAKA


Al-Qaththan, Manna’, Mabahis  fi Ulumul Al-Qur’an, (Kairo; Maktabah Wahbah, 2004) terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2006)

Al-Munawar, Said Agil, Al-Qur’an Membangun Tradisi  Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003)

Al-Ashfahany, Ar-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt)

Buseri, Kamrani, ReinventingPendidikan Islam (Mengagas kembali pendidikan Islam yang lebih baik), (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), cet. Ke1, hl. 7

Hamidi, Ridwan, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal 04 September 2012

Metodologi Tafsir, http://dear.to/abusalma diakses tanggal 10 September 2013


Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan Al-Qur’an  Tentang Pendidikan, (Yogyakarta; Teras; 2008) 


Nata, Abuddin , Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), (Jakarta: Rajawali Pers, 1993)


Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy),  (Jakarta: PT Rajagrafindo Persado, 2010)

Shihab, M. Quraish , Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009)





[1] Metodologi Tafsir, http://dear.to/abusalma diakses tanggal 10 September 2013
[2] Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), cet ketiga, hal. 123
[3]Manna’ Al-Qaththan, Mabahis  fi Ulumul Al-Qur’an, (Kairo; Maktabah Wahbah, 2004) terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. Pertama, hal. 407
[4] Ridwan Hamidi, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal 04 September 2012
[5] Manna’ Al-Qaththan, Loc.cit.
[6] Ridwan Hamidi, Loc.cit
[7] Manna’ Al-Qaththan, Op.cit. hal. 409
[8]Lihat : Said Agil al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi  Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), cet. 3 hal. 66-68
[9]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy),  (Jakarta: PT Rajagrafindo Persado, 2010) cet. 4, hal. 3-4
[10]Ridwan Hamidi, Loc.cit Tafsir tarbawi seperti juga tafsir dengan corak-corak lainnya, terkadang disusun dengan metode tahlily dan terkadang dengan metode maudhu'i dengan kedua teknisnya. Lihat Tafsir Tarbawi, http://jendelapengetahuanayub.blogspot.com/2011/06/tafsir-tarbawi.html?zx=b999329a1660abba diakses tanggal 11 September 2013
[11]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), cet. III, hal. 139
[12] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan Al-Qur’an  Tentang Pendidikan, (Yogyakarta; Teras; 2008), cet. I, hal.  8               
[13]Ibid, hal. 31
[14]Lihat Ar-Raghib al-Ashfahany, Mu’jam Mufradat Alfradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 535
[15] Ahmad Munir, Op.cit., hal. 33
[16] Ahmad Munir, Op.cit, hal. 8
[17]Kamrani Buseri menyebut pendidikan sebagai upaya  untuk memanusiakan  manusia,  terkait dengan nilai-nilai mengenai manusia itu  sendiri yakni apa itu manusia, apa tujuan  dari penciptaan manusia, bagaimana manusia yang ideal, bagaimana hubungan antar manusia, manusia dengan alam semesta, serta bagaimana  hubungannya dengan sang pencipta. Lihat Kamrani Buseri, ReinventingPendidikan Islam (Mengagas kembali pendidikan Islam yang lebih baik), (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), cet. Ke1, hl. 7 
[18] Tarfsir Tarbawi, Loc.cit.
[19] Ahmad Munir, Op.cit, hal. 10