Ada yang resah, bilangan tahun makin bertambah pada usia. Namun tak
juga sampai pada masa untuk memesan undangan walimah, lalu
menyebarkannya pada sahabat, tetangga dan saudara dengan suka cita.
Ada yang mulai gelisah, saat teman-teman seangkatan, bahkan adik
kelas mulai berfoto dengan anak-anaknya, sudah dua, tiga bahkan berlima,
dengan senyum yang bahagia. Lalu hati pun bertanya, kapan giliran saya?
Ada yang mulai meragukan kesabarannya sendiri untuk bertahan. Lalu
perlahan-lahan mengubah penampilan, melobi karakter kebaikan yang dulu
disyaratkan untuk calon pendamping. Ada yang mulai melunak, tak lagi
memilih-milih karakter keimanan dan kebaikan yang dulu disyaratkan
sebagai calon qawwamnya dalam rumah tangga. Akhirnya berakhir pada
ucapan, “wis sopo wae lah sing tekko” (sudah, siapa saja lah
yang datang).ada yang mulai ragu bahwa dengan tetap menjaga keimanan dan
kesabarannya, ia akan mendapatkan jodoh yang layak di mata Allah.
Ada ratusan kali, mungkin ribuan bahkan jutaan kali berdoa agar
didekatkan jodoh yang baik dan tepat untuk nya, namun tak kunjung
dikabulkan oleh Allah. Lalu akhirnya marah, perlahan meragukan Maha
Rahmannya Allah. Akhirnya tak lagi khusyuk meminta, bahkan berhenti
berharap dan berdoa.
Ada yang akhirnya menyambut siapa saja dengan tangan terbuka, setiap
sms yang membuat hatinya berbunga, mengiyakan tawaran makan malam, dan
jalan-jalan yang datang padanya. Menjajaki setiap orang yang dirasa
‘potensial’ menjadi pendamping hidupnya. Terus menjalani ‘petualangan
cinta’ sampai ketemu yang paling cocok dan berani melamarnya. “Siapa
tahu jodoh”, begitu kata hatinya. Keyakinannya menjadikan dia seperti
pembeli sepatu, berganti-ganti sampai model, harga dan ukurannya pas di
kaki.
Jodohku: Luar biasa hingga kita bertemu
Orang yang akhirnya menjadi suami istri, suatu saat akan menyadari
betapa luar biasanya ‘garis hidup’ yang dibuat Allah hingga
mempertemukan mereka berdua. Sampai pada saya beberapa kisah, yang
membuat saya akhirnya berkata “Subhanallah, Maha Suci Allah”. Baru
menyadari makna kata “wa min aayaatihii” pada Ar-Rum 21: ayat yang banyak dinukil pada kartu undangan walimah. Mari kita renungkan lagi “Dan
di antara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih
dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir)”
Sampai pada saya beberapa kisah nyata tentang teman, kerabat dan beberapa kenalan:
1. Saya memanggilnya bu Aisy, guru TK saya. Memakai busana muslimah
ke mana saja sejak masih muda. Selalu tersenyum ramah dan mengingat nama
kami, muridnya. Lama tak bertemu, bahkan sampai saya kuliah, beliau
juga belum menikah. Baru ketika saya hampir lulus kuliah, ibu yang
pernah menjadi teman sepengajiannya itu akhirnya mengabarkan berita
walimah bu Aisy. Mungkin usianya ketika menikah itu sudah lebih 50
tahun, masih ‘gadis’ insya Allah. Seorang ustadz dari sebuah organisasi
keislaman terkemuka, melamarnya. Duda dengan anak-anak dan cucu yang
shalih-shalihah insya Allah. Ketika lebaran tiba, saya melihat ruang
tamunya bertambah ramai: ikhwan-akhwat beserta cucu-cucu yang lucu kini
meramaikan rumahnya, membuat pelangi di hatinya. Puluhan tahun kesabaran
yang berbuah indah.
2. Ini cerita teman dari teman sekamar saya. Tetangganya menikah,
ramai tamu menghadiri undangannya. Mereka berdua baru saja melaksanakan
ijab-kabul, langsung duduk berdua di pelaminan menyalami tamu undangan.
Belum sempat masuk kamar untuk berdua menikmati kehalalan suami istri.
Tiba-tiba sang mempelai lelaki berkata pada istrinya:”dadaku sakit dek”,
lalu sang istri memapahnya duduk di kursi pelaminan. Beberapa menit
kemudian, mempelai lelaki itu meninggal di kursi pelaminannya. Masih
memakai baju pengantinnya.
3. Menonton sebuah program bincang-bincang keislaman di sebuah
televisi swasta, dihadirkan sepasang suami istri yang perbedaan usia
keduanya 20 tahun lebih. Otak saya masih loading, memastikan
beberapa fakta: ketika sang lelaki berumur dua puluh tahun lebih
(sekiranya ia sekolah terus, maka kira-kira sudah lulus kuliah): ketika
itu ‘jodohnya’ baru lahir ke dunia. Ya lahir sebagai seorang bayi, lalu
baru dua puluh tahun kemudian mereka menikah.
4. Ini cerita dari adik kelas saya, bapak-ibunya berasal dari desa
yang berbeda di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Tapi mereka berdua
memutuskan menikah, justru ketika kedua keduanya dipertemukan Allah saat
merantau untuk bekerja di Kalimantan. Jodoh yang ternyata dekat, tapi
Allah (mungkin) menginginkan mereka melakukan perjalanan ribuan
kilometer jauhnya, hingga sampai pada koordinat tempat mereka bertemu,
dan waktu yang tepat untuk menikah. Ada pula yang bapaknya lahir dan
besar di Kalimantan, Ibunya lahir dan besar di Sumatra, tapi
dipertemukan dan memutuskan menikah saat masing-masing tinggal sementara
waktu di Pulau Jawa. Ya, masing-masing menempuh jalan panjang,
mengambil banyak keputusan penting sampai akhirnya memutuskan untuk
menikah. Ya keputusan penting itu bisa berupa; mau sekolah di mana,
diterima kuliah di jurusan apa, di kota mana, bekerja di mana, pindah
bekerja di mana, berteman dengan siapa dan seterusnya.
5. kita mungkin juga pernah tahu lewat media massa, ada seorang artis
dengan tubuh (maaf) ‘kerdil’, akhirnya menikah dengan perempuan
bertubuh normal, cantik dan akhirnya mereka menikah dan punya anak. Kita
juga mungkin kadang terheran-heran, dengan ‘rumus jodoh’ ketika bertemu
dengan seorang yang sangat cantik dan memiliki suami yang ‘sangat biasa
saja’, atau sebaliknya dalam pandangan kita.
Jika ditambahkan akan semakin panjang daftar kisahnya. Dengan
berbagai nama, waktu, tempat dan lakon yang berbeda-beda. Tapi
setidaknya dari berbagai kisah yang dekat, dan terjadi di sekitar kita
bisa berpikir, merenungkan dan mengambil kesimpulan-kesimpulan.
Kesimpulan-kesimpulan yang sebenarnya (semua orang) Tahu!
Jodoh dan berjodoh, adalah bagian dari Keputusan Allah, penetapan
Allah atas manusia. Urusan jodoh dan berjodoh, bukan sebuah urusan kecil
dan main-main, karena Allah tak pernah main-main dalam menciptakan
manusia, menentukan rezeki, dan perjalanan hidup hingga matinya manusia.
Allah tak sedang ‘mengocok lotre’ dan mengundi seperti arisan
ketika menentukan jodoh seseorang. Maka jika kita memiliki harapan
tentang calon pendamping hidup kita, menginginkan agar kita segera
dipertemukan dengan jodoh kita, maka mintalah pada Allah! Bicaralah pada
Allah! Mendekatlah pada Allah! Bulatkan, kuatkan, kencangkan keyakinan
kita pada Allah. Apa yang tidak mungkin bagi kita, adalah sangat mudah
bagi Allah.
Justru karena kita tidak tahu siapa jodoh kita, kapan bertemunya,
bagaimana akhir kisahnya di dunia dan akhirat: maka hidup kita menjadi
lebih indah, berwarna dan bermakna. Karena kita akan menjalani
kemanusiaan kita dengan tetap menjadi hamba Allah. Menikmati indahnya
berjuang, menikmati kesungguh-sungguhan ikhtiar, menikmati indahnya
meminta pada Allah, menikmati indahnya memohon pertolongan pada Allah,
menikmati indahnya bersabar, menikmati ‘kejutan’-kejutan yang Allah
hadirkan dalam kehidupan kita
Kita tidak bisa mengajukan proposal pada Allah. Kita tidak bisa
memaksa Allah: pokoknya dia ya Allah, maunya kau dia yang jadi jodohku
ya Allah. Kita tidak bisa menguasai dalamnya hati manusia, kita tak bisa
membatasi akal pikiran manusia. Ya karena kita tidak berkuasa atas
kehidupan dan kematian manusia, atas berbolak-baliknya hati manusia:
karena itu kita tak boleh melabuhkan cinta terbesar kita pada manusia.
Kita labuhkan saja cinta terbesar kita pada Allah, yang dengan kecintaan
itu lalu Allah melabuhkan cinta manusia yang bertaqwa dalam hati kita.
Sehingga taqwa itu yang membuat kita berjodoh dengan orang yang bisa
menumbuhsuburkan cinta kita pada Allah. Karena taqwa yang dirajut selama
pernikahan yang barakah itu, mudah-mudahan kita berjodoh hingga ke
surga. Bukankah ini lebih indah?
Sungguh jodoh tidak berjalan linier di atas garis kecantikan,
ketampanan, kekayaan, kedekatan geografis. “Rumus jodoh’ bukan
ditentukan oleh hukum kepantasan manusia. Karena manusia hanya tahu
permukaannya, berpikir dalam kesempitan ilmunya, memutuskan dalam
pengaruh hawa nafsunya. ‘Rumus jodoh’ semata-mata kepunyaan Allah.
Karena itu, sebagai hamba kita hanya mampu menerima keputusan Allah.
Menyiapkan diri untuk menerima apapun keputusan Allah. Menyiapkan
seluas-luas kesabaran, keikhlasan, sebesar-besar keimanan untuk menerima
‘jatah jodoh’ yang berupa pendamping hidup, rezeki, dan lainnya.
Ya, menunggulah dalam kesibukan memperbaiki diri. Menunggulah dalam
kesibukan beramal shalih, persubur silaturahim dan mendoakan saudara
seiman. Kita tidak bisa mempersiapkan orang yang akan menjadi jodoh
kita. Kita tidak punya kendali untuk mengatur orang yang ‘akan jadi
jodoh kita’. Kita hanya bisa mempersiapkan diri kita. Membekali diri
dengan segala kemampuan, keterampilan, sikap hati untuk menjalankan
peran-peran dalam pernikahan. Ketika saat itu tiba, ijab qabul sah,
seketika itu seperangkat peran diserahkan di pundak kita. Allah
menyaksikan! Seketika itu kita akan menjadi istri/suami, menantu, ipar,
anggota masyarakat baru. Dan seketika itu pula, tak cukup lagi waktu
mempersiapkan diri. Ya, pernikahan bukan awal, jadi jangan berpikir
untuk baru belajar, baru berubah setelah menikah.
Hidup itu adalah seni menerima, bukan semata-mata pasrah. Tapi
penerimaan yang membuat kita tetap berjuang untuk mendapatkan ridha
Allah. Karena apapun yang kita terima dari Allah, semuanya adalah
pemberian, harta adalah pemberian, pendamping hidup adalah pemberian,
ilmu, anak-anak, kasih sayang, cinta dan semua yang kita miliki
hakikatnya adalah pemberian Allah. Semuanya adalah ujian yang
mengantarkan kita pada perjuangan mendapatkan keridhaan Allah. Menerima
dan bersyukur adalah kunci bahagia, bukan berburuk sangka dan
berandai-andai atas apa yang belum diberikan Allah.
“Dan apa saja yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan
hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah
lebih baik dan lebih kekal, tidakkah kamu mengerti” (QS. al-Qashash: 60)
Menikah bukan akhir, bukan awal, ia setengah perjuangan. Pernikahan
berarti peran baru, tanggungjawab baru, tantangan baru: bagian dari
daftar yang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban dari kita di
yaumil akhir.
Tentang berjodoh itu, adalah tentang waktu, tentang tempat, tentang
masa. Dan yang kita sebutkan tadi semua ada dalam genggaman Allah.
Bukankah dalam surat al-ashr Allah bersumpah dengan waktu. “Demi
masa, sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk
kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Ya, agar
tak bosan, resah dan merugi saat menanti saat walimah tiba, sibuklah
memperbaiki iman, amal dan tetap setia dalam kebenaran dan kesabaran.
Menikah dan mendapat pendamping hidup itu tidak pasti, ada banyak
orang yang meninggal ketika masih bayi atau remaja. Tapi Mati itu sebuah
kepastian. Orang yang menikah pun juga akan mati. Jangan terlalu galau,
ada perkara yang lebih besar dari sekedar status menikah atau tidak
menikah. Hidup itu bukan semata-mata perjuangan mendapatkan pendamping
hidup. Karena yang telah menikah pun, harus terus berjuang agar mereka
diberikan rahmat oleh Allah untuk tetap ‘berjodoh’ hingga ke surga,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini :
“(Yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama
dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan
anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka
dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun alaikum bima
shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’du 23-24).
Saturday 12 October 2013
HAKEKAT KEBAHAGIAAN
Menurut Imam Al-Ghazali hakekat kesempurnaan kebahagiaan itu tergantung kepada tiga kekuatan:
a. Kekuatan marah
b. Kekuatan Syahwat
c. Kekuatan Ilmu
untuk memperoleh kebahagiaan maka manusia harus berjalan di antara atau di tengah-tengah ketiga kekuatan tersebut. Jangan berlebih-lebihan menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan membawa kebinasaan. jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat sehingga menjadi seorang yang humuq (pandir), yang juga berakibat pada kerusakan. Maka jiga kekuatan marah dan kekuatan syahwat dipergunakan pada tengah-tengah, maka akan luruslah jalannya menuju petunjuk Tuhan. Kalau marah terletak di tengah-tengan, timbullah kesabaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanian, dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan menurut hikmat.
Demikian pula dengan Syahwat, apabila selalau memperturutkan syahwat, bisa menjadi fasiq (melanggar perintah Tuhan), kalau syahwat kurang teguh, maka hati akan lemah dan menjadi pemalas. Kalau syahwat berjalan di tengah-tengan maka akan menimbulkan Iffah, artinya dapat memerintah diri sendiri, dan qana'ah, yakni cukup dengan apa yang ada serta tidak berhenti untuk berusaha.
a. Kekuatan marah
b. Kekuatan Syahwat
c. Kekuatan Ilmu
untuk memperoleh kebahagiaan maka manusia harus berjalan di antara atau di tengah-tengah ketiga kekuatan tersebut. Jangan berlebih-lebihan menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan membawa kebinasaan. jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat sehingga menjadi seorang yang humuq (pandir), yang juga berakibat pada kerusakan. Maka jiga kekuatan marah dan kekuatan syahwat dipergunakan pada tengah-tengah, maka akan luruslah jalannya menuju petunjuk Tuhan. Kalau marah terletak di tengah-tengan, timbullah kesabaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanian, dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan menurut hikmat.
Demikian pula dengan Syahwat, apabila selalau memperturutkan syahwat, bisa menjadi fasiq (melanggar perintah Tuhan), kalau syahwat kurang teguh, maka hati akan lemah dan menjadi pemalas. Kalau syahwat berjalan di tengah-tengan maka akan menimbulkan Iffah, artinya dapat memerintah diri sendiri, dan qana'ah, yakni cukup dengan apa yang ada serta tidak berhenti untuk berusaha.
Friday 4 October 2013
PENGANTAR TAFSIR TARBAWI
PENGANTAR TAFSIR TARBAWI
Oleh : Eddy Khairani Z, S.Ag, M.Pd.I
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad _ sebagai mu’jizat yang ditulis
dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawattir serta membacanya adalah ibadah.
Al-Qur’an diturunkan tidak hanya kepada
manusia tetapi juga jin agar bisa dijadikan petunjuk (hudan) dan pembeda
(furqan) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah:
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil).” (QS. 2:185)
Allah menurunkan
al-Qur’an untuk dibaca dengan penuh penghayatan (Tadabbur), meyakini
kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman,” Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS.
4:82). Juga firman Allah , “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an
ataukah hati mereka terkunci (QS. 47:24).
Agar bisa mewujudkan
perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata; Apabila
anda ingin mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, maka pusatkanlah hati dan
pikiran anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah pendengaran anda
baik-baik karena Allah berfirman,” Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.[1]
Al-Qur’an adalah sumber
ajaran Islam yang berhubungan dengan totalitas
kehidupan manusia. Dalam kenyataan emperik, tidak dapat dipungkiri,
bahwa ketika sumber ajaran itu hendak dihapami dan dikomunikasikan dengan kehidupan manusia yang pluralistic, diperlukan keterlibatan
pemikiran yang merupakan kreatifitas
manusia.[2]
Kemempuan setiap orang dalam memahami al-Qur’an, tentu berbeda,
padahal penjelasan ayat-ayatnya sedemikian gambalang jelas dan rinci. Perbedaan
daya nalar di antara mereka ini adalah
suatu hal yang tidak dipertentangkan
lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan
bersifat global. Sedangkan kaum cendikiawan
dan terpelajar akan dapat
memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik. Dengan adanya dua macam
kelompok yang berbeda ini tentu tidaklah
mengherankan jika al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umat Islam.[3]
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam
kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah,
kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang
lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT. tidak memberi perincian-perincian dalam
masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir,
apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas
pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak
makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan berupa tafsir Al-Qur’an.[4]
B. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa mengikuti
wazan “taf’il” yang artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan
makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba
– yadhibu” dan Nashara – Yanshuru”.
Kata At-Tafsir mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup atau menyingkap kan maksud suatu lafazh yang musykil. [5]
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu
untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan makna - maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[6]
Abu Hayyan, seperti yang ditulis Manna Al-Qaththan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh – lafazh
al-Qur’an, indikator-indikatornya , masalah hukum-hukumnya baik yang independen
maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang
berkaitan dengan kondisi struktur lafazh
yang melengkapinya.
Menurut Az-Zarkasi,
Tafsir adalah ilmu untuk memahami
Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmah-hikmahnya.[7]
C. Corak dan Metode Tafsir
Seperti yang kita ketahui Rasulullah
SAW merupakan orang yang pertama yang berhak menafsirkan al-Qur’an yang disebut
dengan mufassir awal, karena pada masa Nabi segala persoalan umat bisa
langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Lain halnya pada penafsiran masa sahabat
digunakan beberapa pendekatan, antara lain :
1. Pendekatan dengan al-Qur’an itu
sendiri; Corak tafsir yang menggunakan metode ini adalah bahwa ayat yang masih
bersifat global terdapat penjelasannya
pada ayat lain. Begitu juga ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat
penjelasan pada ayat lain yang bisa dijadikan qiyas atau yang mengkhususkannya.
2. Penafsiran dikembalikan kepada Nabi;
hal ini dilakukan terutama para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam
memahami suatu ayat dari Al-Qur’an.
3. Pemahaman dan ijtihad sahabat Nabi.
Hal ini mereka lakukan apabila tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam Kibab
Allah dan juga tidak menemukannya dari penjelesan Nabi SAW. Diantara para
sahabat nabi yang paling terkenal dalam bidang tafsir adalah Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, dan lain-lain.[8]
Menurut Abuddin Nata, dalam sejarah tafsir al-Qur’an ada beberapa corak dan
pendekatan yang digunakan para mufassir
dalam menafsirkan al-Qur’an. Ada yang menggunakan pendekatan kebahasaan,
pendekatan Akhlak, Pendekatan Ilmu balaghah, pendekatan filsaafat, pendekatan
teologi, pendekatah hukum, pendekatan sufi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sedangkan dari segi metode yang digunakan, dijumpai adanya penafsiran secara
tahlili atau tajz’i, dan ada yang bersifat tematik (maudhu’i).[9]
Ada berbagai bentuk tafsir
Al-Qur’an, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada dua, yaitu:
1.
Tafsir bi Al-Ma’tsur
Dinamai
dengan nama ini (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak,
peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri
jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada
kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al
Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan
perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah;
dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya
menerimanya dari sahabat. Tafsir bi Al-Ma’tsur yang terkenal antara
lain: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As Samarkandy, tafsir Ad Durul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur
(karya Jalaluddin As Suyuthi), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al Baghawy, dan
tafsir Baqy bin Makhlad.
2. Tafsir bi Ar-Ra’yi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang
disebabkan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu
tafsir membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi
Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an,
ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan
mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan
yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang
mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk
benar dan salah. Beberapa tafsir bi Ra’yi yang terkenal antara lain:
tafsir Al Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir Al-Khazin.
Seperti di ungkapkan di atas selain corak yang berbeda ,
metode tafsir juga bermacam-macam. Yakni : Metodologi tafsir dibagi menjadi
empat macam, yaitu metode tahlili,
ijmali, muqaron, dan maudlu’i.
1. Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang
berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan
apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling
tua dan sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat,
kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al
Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz,
balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil
dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak, dan lain sebagainya.
2.
Metode
Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan
global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang
ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili,
namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang
lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi
oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.
3.
Metode
Muqarran
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat
dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan
perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4.
Metode
Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari
jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai
tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan
menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya,
kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian
mengambil hukum-hukum darinya.[10]
D. Tafsir Tarbawi
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia adalah merupakan
satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi akibat lajunya pertumbuhan
penduduk serta pesatnya perkembangan
masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan
perselisihan dan silang pendapat. Agar al-Qur-an berguna sesuai dengan
fungsi-fungsinya, al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan
memahaminya.[11]
Upaya pencarian makna kitab suci tercermin dalam berbagai kajian, baik secara tektual maupun
kontekstual dan bahkan dalam bentuk sentesa sebuah disiplin akademik. Hal ini
agar nilai-nilai kitab suci dapat lebih membumi, diantaranya adalah melalui
gagasan tafsir tarbawi. Tafsir Tarbawi yang merupakan ijtihad akademisi tafsir,
berupaya mendekati al-Qur’an melalui
sudut pandang pendidikan, baik dari segi
teoretik maupu praktik. Ijtihat
ini diharapkan dapat mewacanakan sebuah
paradikma tentang konsep pendidikan yang
dilandaskan kepada kitab suci dan mampu
untuk di implementasikan sebagai nilai
– nilai dasar dalam pendidikan.[12]
Dalam istilah Indonesia, kata pendidikan dan pengajaran hampir-hampir menjadi kata padanan yang setara (majemuk) untuk
menunjukkan pada sebuah kegiatan atau
proses transformasi, baik ilmu maupun nilai, dan dalam al-Qur’an sendiri juga
tidak membedakannya. Jika kita telusuri secara mendalam di dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah yang mengacu pada terminologi Pendidikan dan
Pengajaran, diantaranya adalah tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan tazkiyah.[13]
Kata Tarbiyah berasal dari bahasa arab yaitu: rabbi-yurabbi-tarbiyah,
yang berarti raja/penguasa, tuan, pengatur, penanggung jawab, pemberi nikmat.
Istilah tarbiyah dapat diartikan sebagai proses
penyampaian atau pendampingan terhadap anak yang di empu sehingga dapat
mengantarkan masa kanak-kanak tersebut
kearah yang lebih baik,[14]
dengan beberapa prinsif yang menjadi
dasar pandangan Islam terhadap hubungan manusia, baik antara manusia dengan
Khaliqnya, maupun manusia dengan alam raya.[15]
Dengan demikian upaya pemahaman al-Qur’an yang diyakini keuniversalannya telah
memunculkan berbagai terminologi yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur’an.
Hadirnya terminology Tafsir Tarbawi dalam hal ini merupakan sebuah metode
pemahaman kitab suci (tafsir) yang
dilihat dari sisi pendidikan dengan lebih memperhatikan corak
pendidikan dalam memberikan analisisnya.[16]
Dalam
pendidikan Islam, sasaran yang ingin dicapai adalah melakukan pengaturan dan
pembinaan dari segenap aspek potensial manusia agar mencapai kesempurnaan.[17]
Di sisi lain, manusia sebagai mahluk multi dimensi memiliki banyak aspek potensial
dari mulai aspek material (jasmani), hingga immaterial (akal dan jiwa). Untuk
itulah, maka Allah mengutus Rasul sebagai pendidik yang dalam al Qur'an
disebutkan bertugas sebagai penyampai informasi Tuhan (yatlu 'alaihim ayatih),
menyucikan yang berarti mendidik (yuzakkîhim) dan mengajar yang tidak lain
menanamkan pengetahuan (yuallimuhum) baik yang berkaitan dengan alam fisika
maupun metafisika.
Tujuan
pendidikan islam (tarbiyyah) tidak hanya bersifat immanent, tetapi juga
transenden. Sebab target yang ditetapkannya adalah melahirkan kesempurnaan
manusia agar tercipta mahluk dwidimensi
dalam satu keseimbangan, dunia-akhirat, atau ilmu dan iman.
Karena tujuan itu, maka pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu, kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Karena tujuan itu, maka pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu, kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Kebutuhan
pengetahuan akan kitab suci (tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada
aspek-aspek berikut.
1.
Tafsir sebagai
basis keimanan yang merupakan pengetahuan tertinggi nilainya, dan terdasar
kedudukannya dalam susunan pengetahuan manusia sebelum pengetahuan keilmuan
yang lain.
2.
Tafsir sebagai
konfirmasi terhadap kebenaran yang diungkap dalam pengetahuan eksploratif.
Artinya pengetahuan keimanan (informatif) dalam pendidikan Islam dan
pengetahuan ekploratif harus saling menguatkan dan membenarkan.
3.
Tafsir
berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna akan pengetahuan eksploratif yang
belum tuntas. Artinya tafsir harus dapat memberi penjelasan tentang
fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan
eksploratif.
4.
Tafsir
berfungsi sebagai pengisi nilai (value filler) terhadap pengetahuan
eksploratif. Artinya tafsir dimaksudkan sebagai pengetahuan yang dapat mewarnai
pengetahuan ekspolaratif agar tidak bebas nilai melalui penanaman nilai-nilai
transendent dan etika/moral.
5.
Tafsir berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan pesan-pesan ketuhanan agar dapat ditangkap oleh manusia. Dengan
kata lain, tafsir merupakan sarana untuk memberikan kesan membumi (indegenous)
terhadap pesan-pesan Ilahi yang bersifat suci dan transenden.[18]
Tafsir dalam wacana ilmiah yang konstruktif,
adalah merupakan lembaga ilmiah yang
sudah diterima oleh mayoritas
kelompok sesuai dengan corak dan
versi masing-masing. Sebagai konsekwensi logisnya akan muncul berbagai polaritas dan pluralitas
pendekatan sesuai dengan kecenderungan
yang dapat dipandang sebagai bias subyetifitas mufassirnya. Oleh karena
itu, dalam dunia islam didapati tafsir
yang bermacam corak, hal ini tentu karena berdasarkan disflin ilmu dan
subyaktifitasnya masing-masing, tidak
terkecuali para ahli pendidikan dengan tafsir tarbawinya.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna’, Mabahis fi Ulumul Al-Qur’an, (Kairo; Maktabah
Wahbah, 2004) terjemah Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2006)
Al-Munawar,
Said Agil, Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003)
Al-Ashfahany,
Ar-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfradat Alfaz
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt)
Buseri,
Kamrani, ReinventingPendidikan Islam
(Mengagas kembali pendidikan Islam yang lebih baik), (Banjarmasin: Antasari
Press, 2010), cet. Ke1, hl. 7
Hamidi, Ridwan, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal
04 September 2012
Munir,
Ahmad, Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, (Yogyakarta; Teras;
2008)
Nata, Abuddin , Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I),
(Jakarta: Rajawali Pers, 1993)
Nata,
Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan
(Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy),
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persado, 2010)
Shihab,
M. Quraish , Membumikan Al-Qur’an; Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2009)
Tafsir Tarbawi, http://jendelapengetahuanayub.blogspot.com/2011/06/tafsir-tarbawi.html?zx=b999329a1660abba diakses tanggal
11 September 2013
[2] Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I),
(Jakarta: Rajawali Pers, 1993), cet ketiga, hal. 123
[3]Manna’ Al-Qaththan, Mabahis
fi Ulumul Al-Qur’an, (Kairo; Maktabah Wahbah, 2004) terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta;
Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. Pertama, hal. 407
[4] Ridwan Hamidi, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal
04 September 2012
[5] Manna’ Al-Qaththan, Loc.cit.
[7] Manna’ Al-Qaththan, Op.cit. hal.
409
[8]Lihat : Said Agil al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat
Press, 2003), cet. 3 hal. 66-68
[9]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat
Al-Tarbawiy), (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persado, 2010) cet. 4, hal. 3-4
[10]Ridwan
Hamidi, Loc.cit Tafsir
tarbawi seperti juga tafsir dengan corak-corak lainnya, terkadang disusun
dengan metode tahlily dan terkadang dengan metode maudhu'i dengan kedua
teknisnya. Lihat Tafsir Tarbawi, http://jendelapengetahuanayub.blogspot.com/2011/06/tafsir-tarbawi.html?zx=b999329a1660abba diakses tanggal 11 September
2013
[11]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), cet. III,
hal. 139
[12] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan
Al-Qur’an Tentang Pendidikan,
(Yogyakarta; Teras; 2008), cet. I, hal.
8
[13]Ibid, hal. 31
[14]Lihat Ar-Raghib al-Ashfahany, Mu’jam Mufradat Alfradat Alfaz al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 535
[15] Ahmad Munir, Op.cit., hal. 33
[16] Ahmad Munir, Op.cit, hal. 8
[17]Kamrani Buseri menyebut
pendidikan sebagai upaya untuk
memanusiakan manusia, terkait dengan nilai-nilai mengenai manusia
itu sendiri yakni apa itu manusia, apa
tujuan dari penciptaan manusia,
bagaimana manusia yang ideal, bagaimana hubungan antar manusia, manusia dengan
alam semesta, serta bagaimana
hubungannya dengan sang pencipta. Lihat Kamrani Buseri, ReinventingPendidikan Islam (Mengagas kembali
pendidikan Islam yang lebih baik), (Banjarmasin: Antasari Press, 2010),
cet. Ke1, hl. 7
[18] Tarfsir Tarbawi, Loc.cit.
[19] Ahmad Munir, Op.cit, hal. 10
Subscribe to:
Posts (Atom)