Ada yang resah, bilangan tahun makin bertambah pada usia. Namun tak
juga sampai pada masa untuk memesan undangan walimah, lalu
menyebarkannya pada sahabat, tetangga dan saudara dengan suka cita.
Ada yang mulai gelisah, saat teman-teman seangkatan, bahkan adik
kelas mulai berfoto dengan anak-anaknya, sudah dua, tiga bahkan berlima,
dengan senyum yang bahagia. Lalu hati pun bertanya, kapan giliran saya?
Ada yang mulai meragukan kesabarannya sendiri untuk bertahan. Lalu
perlahan-lahan mengubah penampilan, melobi karakter kebaikan yang dulu
disyaratkan untuk calon pendamping. Ada yang mulai melunak, tak lagi
memilih-milih karakter keimanan dan kebaikan yang dulu disyaratkan
sebagai calon qawwamnya dalam rumah tangga. Akhirnya berakhir pada
ucapan, “wis sopo wae lah sing tekko” (sudah, siapa saja lah
yang datang).ada yang mulai ragu bahwa dengan tetap menjaga keimanan dan
kesabarannya, ia akan mendapatkan jodoh yang layak di mata Allah.
Ada ratusan kali, mungkin ribuan bahkan jutaan kali berdoa agar
didekatkan jodoh yang baik dan tepat untuk nya, namun tak kunjung
dikabulkan oleh Allah. Lalu akhirnya marah, perlahan meragukan Maha
Rahmannya Allah. Akhirnya tak lagi khusyuk meminta, bahkan berhenti
berharap dan berdoa.
Ada yang akhirnya menyambut siapa saja dengan tangan terbuka, setiap
sms yang membuat hatinya berbunga, mengiyakan tawaran makan malam, dan
jalan-jalan yang datang padanya. Menjajaki setiap orang yang dirasa
‘potensial’ menjadi pendamping hidupnya. Terus menjalani ‘petualangan
cinta’ sampai ketemu yang paling cocok dan berani melamarnya. “Siapa
tahu jodoh”, begitu kata hatinya. Keyakinannya menjadikan dia seperti
pembeli sepatu, berganti-ganti sampai model, harga dan ukurannya pas di
kaki.
Jodohku: Luar biasa hingga kita bertemu
Orang yang akhirnya menjadi suami istri, suatu saat akan menyadari
betapa luar biasanya ‘garis hidup’ yang dibuat Allah hingga
mempertemukan mereka berdua. Sampai pada saya beberapa kisah, yang
membuat saya akhirnya berkata “Subhanallah, Maha Suci Allah”. Baru
menyadari makna kata “wa min aayaatihii” pada Ar-Rum 21: ayat yang banyak dinukil pada kartu undangan walimah. Mari kita renungkan lagi “Dan
di antara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih
dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir)”
Sampai pada saya beberapa kisah nyata tentang teman, kerabat dan beberapa kenalan:
1. Saya memanggilnya bu Aisy, guru TK saya. Memakai busana muslimah
ke mana saja sejak masih muda. Selalu tersenyum ramah dan mengingat nama
kami, muridnya. Lama tak bertemu, bahkan sampai saya kuliah, beliau
juga belum menikah. Baru ketika saya hampir lulus kuliah, ibu yang
pernah menjadi teman sepengajiannya itu akhirnya mengabarkan berita
walimah bu Aisy. Mungkin usianya ketika menikah itu sudah lebih 50
tahun, masih ‘gadis’ insya Allah. Seorang ustadz dari sebuah organisasi
keislaman terkemuka, melamarnya. Duda dengan anak-anak dan cucu yang
shalih-shalihah insya Allah. Ketika lebaran tiba, saya melihat ruang
tamunya bertambah ramai: ikhwan-akhwat beserta cucu-cucu yang lucu kini
meramaikan rumahnya, membuat pelangi di hatinya. Puluhan tahun kesabaran
yang berbuah indah.
2. Ini cerita teman dari teman sekamar saya. Tetangganya menikah,
ramai tamu menghadiri undangannya. Mereka berdua baru saja melaksanakan
ijab-kabul, langsung duduk berdua di pelaminan menyalami tamu undangan.
Belum sempat masuk kamar untuk berdua menikmati kehalalan suami istri.
Tiba-tiba sang mempelai lelaki berkata pada istrinya:”dadaku sakit dek”,
lalu sang istri memapahnya duduk di kursi pelaminan. Beberapa menit
kemudian, mempelai lelaki itu meninggal di kursi pelaminannya. Masih
memakai baju pengantinnya.
3. Menonton sebuah program bincang-bincang keislaman di sebuah
televisi swasta, dihadirkan sepasang suami istri yang perbedaan usia
keduanya 20 tahun lebih. Otak saya masih loading, memastikan
beberapa fakta: ketika sang lelaki berumur dua puluh tahun lebih
(sekiranya ia sekolah terus, maka kira-kira sudah lulus kuliah): ketika
itu ‘jodohnya’ baru lahir ke dunia. Ya lahir sebagai seorang bayi, lalu
baru dua puluh tahun kemudian mereka menikah.
4. Ini cerita dari adik kelas saya, bapak-ibunya berasal dari desa
yang berbeda di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Tapi mereka berdua
memutuskan menikah, justru ketika kedua keduanya dipertemukan Allah saat
merantau untuk bekerja di Kalimantan. Jodoh yang ternyata dekat, tapi
Allah (mungkin) menginginkan mereka melakukan perjalanan ribuan
kilometer jauhnya, hingga sampai pada koordinat tempat mereka bertemu,
dan waktu yang tepat untuk menikah. Ada pula yang bapaknya lahir dan
besar di Kalimantan, Ibunya lahir dan besar di Sumatra, tapi
dipertemukan dan memutuskan menikah saat masing-masing tinggal sementara
waktu di Pulau Jawa. Ya, masing-masing menempuh jalan panjang,
mengambil banyak keputusan penting sampai akhirnya memutuskan untuk
menikah. Ya keputusan penting itu bisa berupa; mau sekolah di mana,
diterima kuliah di jurusan apa, di kota mana, bekerja di mana, pindah
bekerja di mana, berteman dengan siapa dan seterusnya.
5. kita mungkin juga pernah tahu lewat media massa, ada seorang artis
dengan tubuh (maaf) ‘kerdil’, akhirnya menikah dengan perempuan
bertubuh normal, cantik dan akhirnya mereka menikah dan punya anak. Kita
juga mungkin kadang terheran-heran, dengan ‘rumus jodoh’ ketika bertemu
dengan seorang yang sangat cantik dan memiliki suami yang ‘sangat biasa
saja’, atau sebaliknya dalam pandangan kita.
Jika ditambahkan akan semakin panjang daftar kisahnya. Dengan
berbagai nama, waktu, tempat dan lakon yang berbeda-beda. Tapi
setidaknya dari berbagai kisah yang dekat, dan terjadi di sekitar kita
bisa berpikir, merenungkan dan mengambil kesimpulan-kesimpulan.
Kesimpulan-kesimpulan yang sebenarnya (semua orang) Tahu!
Jodoh dan berjodoh, adalah bagian dari Keputusan Allah, penetapan
Allah atas manusia. Urusan jodoh dan berjodoh, bukan sebuah urusan kecil
dan main-main, karena Allah tak pernah main-main dalam menciptakan
manusia, menentukan rezeki, dan perjalanan hidup hingga matinya manusia.
Allah tak sedang ‘mengocok lotre’ dan mengundi seperti arisan
ketika menentukan jodoh seseorang. Maka jika kita memiliki harapan
tentang calon pendamping hidup kita, menginginkan agar kita segera
dipertemukan dengan jodoh kita, maka mintalah pada Allah! Bicaralah pada
Allah! Mendekatlah pada Allah! Bulatkan, kuatkan, kencangkan keyakinan
kita pada Allah. Apa yang tidak mungkin bagi kita, adalah sangat mudah
bagi Allah.
Justru karena kita tidak tahu siapa jodoh kita, kapan bertemunya,
bagaimana akhir kisahnya di dunia dan akhirat: maka hidup kita menjadi
lebih indah, berwarna dan bermakna. Karena kita akan menjalani
kemanusiaan kita dengan tetap menjadi hamba Allah. Menikmati indahnya
berjuang, menikmati kesungguh-sungguhan ikhtiar, menikmati indahnya
meminta pada Allah, menikmati indahnya memohon pertolongan pada Allah,
menikmati indahnya bersabar, menikmati ‘kejutan’-kejutan yang Allah
hadirkan dalam kehidupan kita
Kita tidak bisa mengajukan proposal pada Allah. Kita tidak bisa
memaksa Allah: pokoknya dia ya Allah, maunya kau dia yang jadi jodohku
ya Allah. Kita tidak bisa menguasai dalamnya hati manusia, kita tak bisa
membatasi akal pikiran manusia. Ya karena kita tidak berkuasa atas
kehidupan dan kematian manusia, atas berbolak-baliknya hati manusia:
karena itu kita tak boleh melabuhkan cinta terbesar kita pada manusia.
Kita labuhkan saja cinta terbesar kita pada Allah, yang dengan kecintaan
itu lalu Allah melabuhkan cinta manusia yang bertaqwa dalam hati kita.
Sehingga taqwa itu yang membuat kita berjodoh dengan orang yang bisa
menumbuhsuburkan cinta kita pada Allah. Karena taqwa yang dirajut selama
pernikahan yang barakah itu, mudah-mudahan kita berjodoh hingga ke
surga. Bukankah ini lebih indah?
Sungguh jodoh tidak berjalan linier di atas garis kecantikan,
ketampanan, kekayaan, kedekatan geografis. “Rumus jodoh’ bukan
ditentukan oleh hukum kepantasan manusia. Karena manusia hanya tahu
permukaannya, berpikir dalam kesempitan ilmunya, memutuskan dalam
pengaruh hawa nafsunya. ‘Rumus jodoh’ semata-mata kepunyaan Allah.
Karena itu, sebagai hamba kita hanya mampu menerima keputusan Allah.
Menyiapkan diri untuk menerima apapun keputusan Allah. Menyiapkan
seluas-luas kesabaran, keikhlasan, sebesar-besar keimanan untuk menerima
‘jatah jodoh’ yang berupa pendamping hidup, rezeki, dan lainnya.
Ya, menunggulah dalam kesibukan memperbaiki diri. Menunggulah dalam
kesibukan beramal shalih, persubur silaturahim dan mendoakan saudara
seiman. Kita tidak bisa mempersiapkan orang yang akan menjadi jodoh
kita. Kita tidak punya kendali untuk mengatur orang yang ‘akan jadi
jodoh kita’. Kita hanya bisa mempersiapkan diri kita. Membekali diri
dengan segala kemampuan, keterampilan, sikap hati untuk menjalankan
peran-peran dalam pernikahan. Ketika saat itu tiba, ijab qabul sah,
seketika itu seperangkat peran diserahkan di pundak kita. Allah
menyaksikan! Seketika itu kita akan menjadi istri/suami, menantu, ipar,
anggota masyarakat baru. Dan seketika itu pula, tak cukup lagi waktu
mempersiapkan diri. Ya, pernikahan bukan awal, jadi jangan berpikir
untuk baru belajar, baru berubah setelah menikah.
Hidup itu adalah seni menerima, bukan semata-mata pasrah. Tapi
penerimaan yang membuat kita tetap berjuang untuk mendapatkan ridha
Allah. Karena apapun yang kita terima dari Allah, semuanya adalah
pemberian, harta adalah pemberian, pendamping hidup adalah pemberian,
ilmu, anak-anak, kasih sayang, cinta dan semua yang kita miliki
hakikatnya adalah pemberian Allah. Semuanya adalah ujian yang
mengantarkan kita pada perjuangan mendapatkan keridhaan Allah. Menerima
dan bersyukur adalah kunci bahagia, bukan berburuk sangka dan
berandai-andai atas apa yang belum diberikan Allah.
“Dan apa saja yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan
hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah
lebih baik dan lebih kekal, tidakkah kamu mengerti” (QS. al-Qashash: 60)
Menikah bukan akhir, bukan awal, ia setengah perjuangan. Pernikahan
berarti peran baru, tanggungjawab baru, tantangan baru: bagian dari
daftar yang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban dari kita di
yaumil akhir.
Tentang berjodoh itu, adalah tentang waktu, tentang tempat, tentang
masa. Dan yang kita sebutkan tadi semua ada dalam genggaman Allah.
Bukankah dalam surat al-ashr Allah bersumpah dengan waktu. “Demi
masa, sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk
kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Ya, agar
tak bosan, resah dan merugi saat menanti saat walimah tiba, sibuklah
memperbaiki iman, amal dan tetap setia dalam kebenaran dan kesabaran.
Menikah dan mendapat pendamping hidup itu tidak pasti, ada banyak
orang yang meninggal ketika masih bayi atau remaja. Tapi Mati itu sebuah
kepastian. Orang yang menikah pun juga akan mati. Jangan terlalu galau,
ada perkara yang lebih besar dari sekedar status menikah atau tidak
menikah. Hidup itu bukan semata-mata perjuangan mendapatkan pendamping
hidup. Karena yang telah menikah pun, harus terus berjuang agar mereka
diberikan rahmat oleh Allah untuk tetap ‘berjodoh’ hingga ke surga,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini :
“(Yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama
dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan
anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka
dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun alaikum bima
shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’du 23-24).
No comments:
Post a Comment