PENGANTAR TAFSIR TARBAWI
Oleh : Eddy Khairani Z, S.Ag, M.Pd.I
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad _ sebagai mu’jizat yang ditulis
dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawattir serta membacanya adalah ibadah.
Al-Qur’an diturunkan tidak hanya kepada
manusia tetapi juga jin agar bisa dijadikan petunjuk (hudan) dan pembeda
(furqan) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah:
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil).” (QS. 2:185)
Allah menurunkan
al-Qur’an untuk dibaca dengan penuh penghayatan (Tadabbur), meyakini
kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman,” Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS.
4:82). Juga firman Allah , “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an
ataukah hati mereka terkunci (QS. 47:24).
Agar bisa mewujudkan
perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata; Apabila
anda ingin mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, maka pusatkanlah hati dan
pikiran anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah pendengaran anda
baik-baik karena Allah berfirman,” Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.[1]
Al-Qur’an adalah sumber
ajaran Islam yang berhubungan dengan totalitas
kehidupan manusia. Dalam kenyataan emperik, tidak dapat dipungkiri,
bahwa ketika sumber ajaran itu hendak dihapami dan dikomunikasikan dengan kehidupan manusia yang pluralistic, diperlukan keterlibatan
pemikiran yang merupakan kreatifitas
manusia.[2]
Kemempuan setiap orang dalam memahami al-Qur’an, tentu berbeda,
padahal penjelasan ayat-ayatnya sedemikian gambalang jelas dan rinci. Perbedaan
daya nalar di antara mereka ini adalah
suatu hal yang tidak dipertentangkan
lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan
bersifat global. Sedangkan kaum cendikiawan
dan terpelajar akan dapat
memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik. Dengan adanya dua macam
kelompok yang berbeda ini tentu tidaklah
mengherankan jika al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umat Islam.[3]
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam
kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah,
kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang
lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT. tidak memberi perincian-perincian dalam
masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir,
apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas
pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak
makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan berupa tafsir Al-Qur’an.[4]
B. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa mengikuti
wazan “taf’il” yang artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan
makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba
– yadhibu” dan Nashara – Yanshuru”.
Kata At-Tafsir mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup atau menyingkap kan maksud suatu lafazh yang musykil. [5]
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu
untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan makna - maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[6]
Abu Hayyan, seperti yang ditulis Manna Al-Qaththan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh – lafazh
al-Qur’an, indikator-indikatornya , masalah hukum-hukumnya baik yang independen
maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang
berkaitan dengan kondisi struktur lafazh
yang melengkapinya.
Menurut Az-Zarkasi,
Tafsir adalah ilmu untuk memahami
Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmah-hikmahnya.[7]
C. Corak dan Metode Tafsir
Seperti yang kita ketahui Rasulullah
SAW merupakan orang yang pertama yang berhak menafsirkan al-Qur’an yang disebut
dengan mufassir awal, karena pada masa Nabi segala persoalan umat bisa
langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Lain halnya pada penafsiran masa sahabat
digunakan beberapa pendekatan, antara lain :
1. Pendekatan dengan al-Qur’an itu
sendiri; Corak tafsir yang menggunakan metode ini adalah bahwa ayat yang masih
bersifat global terdapat penjelasannya
pada ayat lain. Begitu juga ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat
penjelasan pada ayat lain yang bisa dijadikan qiyas atau yang mengkhususkannya.
2. Penafsiran dikembalikan kepada Nabi;
hal ini dilakukan terutama para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam
memahami suatu ayat dari Al-Qur’an.
3. Pemahaman dan ijtihad sahabat Nabi.
Hal ini mereka lakukan apabila tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam Kibab
Allah dan juga tidak menemukannya dari penjelesan Nabi SAW. Diantara para
sahabat nabi yang paling terkenal dalam bidang tafsir adalah Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, dan lain-lain.[8]
Menurut Abuddin Nata, dalam sejarah tafsir al-Qur’an ada beberapa corak dan
pendekatan yang digunakan para mufassir
dalam menafsirkan al-Qur’an. Ada yang menggunakan pendekatan kebahasaan,
pendekatan Akhlak, Pendekatan Ilmu balaghah, pendekatan filsaafat, pendekatan
teologi, pendekatah hukum, pendekatan sufi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sedangkan dari segi metode yang digunakan, dijumpai adanya penafsiran secara
tahlili atau tajz’i, dan ada yang bersifat tematik (maudhu’i).[9]
Ada berbagai bentuk tafsir
Al-Qur’an, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada dua, yaitu:
1.
Tafsir bi Al-Ma’tsur
Dinamai
dengan nama ini (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak,
peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri
jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada
kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al
Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan
perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah;
dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya
menerimanya dari sahabat. Tafsir bi Al-Ma’tsur yang terkenal antara
lain: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As Samarkandy, tafsir Ad Durul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur
(karya Jalaluddin As Suyuthi), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al Baghawy, dan
tafsir Baqy bin Makhlad.
2. Tafsir bi Ar-Ra’yi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang
disebabkan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu
tafsir membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi
Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an,
ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan
mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan
yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang
mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk
benar dan salah. Beberapa tafsir bi Ra’yi yang terkenal antara lain:
tafsir Al Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir Al-Khazin.
Seperti di ungkapkan di atas selain corak yang berbeda ,
metode tafsir juga bermacam-macam. Yakni : Metodologi tafsir dibagi menjadi
empat macam, yaitu metode tahlili,
ijmali, muqaron, dan maudlu’i.
1. Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang
berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan
apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling
tua dan sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat,
kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al
Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz,
balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil
dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak, dan lain sebagainya.
2.
Metode
Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan
global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang
ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili,
namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang
lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi
oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.
3.
Metode
Muqarran
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat
dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan
perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4.
Metode
Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari
jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai
tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan
menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya,
kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian
mengambil hukum-hukum darinya.[10]
D. Tafsir Tarbawi
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia adalah merupakan
satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi akibat lajunya pertumbuhan
penduduk serta pesatnya perkembangan
masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan
perselisihan dan silang pendapat. Agar al-Qur-an berguna sesuai dengan
fungsi-fungsinya, al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan
memahaminya.[11]
Upaya pencarian makna kitab suci tercermin dalam berbagai kajian, baik secara tektual maupun
kontekstual dan bahkan dalam bentuk sentesa sebuah disiplin akademik. Hal ini
agar nilai-nilai kitab suci dapat lebih membumi, diantaranya adalah melalui
gagasan tafsir tarbawi. Tafsir Tarbawi yang merupakan ijtihad akademisi tafsir,
berupaya mendekati al-Qur’an melalui
sudut pandang pendidikan, baik dari segi
teoretik maupu praktik. Ijtihat
ini diharapkan dapat mewacanakan sebuah
paradikma tentang konsep pendidikan yang
dilandaskan kepada kitab suci dan mampu
untuk di implementasikan sebagai nilai
– nilai dasar dalam pendidikan.[12]
Dalam istilah Indonesia, kata pendidikan dan pengajaran hampir-hampir menjadi kata padanan yang setara (majemuk) untuk
menunjukkan pada sebuah kegiatan atau
proses transformasi, baik ilmu maupun nilai, dan dalam al-Qur’an sendiri juga
tidak membedakannya. Jika kita telusuri secara mendalam di dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah yang mengacu pada terminologi Pendidikan dan
Pengajaran, diantaranya adalah tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan tazkiyah.[13]
Kata Tarbiyah berasal dari bahasa arab yaitu: rabbi-yurabbi-tarbiyah,
yang berarti raja/penguasa, tuan, pengatur, penanggung jawab, pemberi nikmat.
Istilah tarbiyah dapat diartikan sebagai proses
penyampaian atau pendampingan terhadap anak yang di empu sehingga dapat
mengantarkan masa kanak-kanak tersebut
kearah yang lebih baik,[14]
dengan beberapa prinsif yang menjadi
dasar pandangan Islam terhadap hubungan manusia, baik antara manusia dengan
Khaliqnya, maupun manusia dengan alam raya.[15]
Dengan demikian upaya pemahaman al-Qur’an yang diyakini keuniversalannya telah
memunculkan berbagai terminologi yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur’an.
Hadirnya terminology Tafsir Tarbawi dalam hal ini merupakan sebuah metode
pemahaman kitab suci (tafsir) yang
dilihat dari sisi pendidikan dengan lebih memperhatikan corak
pendidikan dalam memberikan analisisnya.[16]
Dalam
pendidikan Islam, sasaran yang ingin dicapai adalah melakukan pengaturan dan
pembinaan dari segenap aspek potensial manusia agar mencapai kesempurnaan.[17]
Di sisi lain, manusia sebagai mahluk multi dimensi memiliki banyak aspek potensial
dari mulai aspek material (jasmani), hingga immaterial (akal dan jiwa). Untuk
itulah, maka Allah mengutus Rasul sebagai pendidik yang dalam al Qur'an
disebutkan bertugas sebagai penyampai informasi Tuhan (yatlu 'alaihim ayatih),
menyucikan yang berarti mendidik (yuzakkîhim) dan mengajar yang tidak lain
menanamkan pengetahuan (yuallimuhum) baik yang berkaitan dengan alam fisika
maupun metafisika.
Tujuan
pendidikan islam (tarbiyyah) tidak hanya bersifat immanent, tetapi juga
transenden. Sebab target yang ditetapkannya adalah melahirkan kesempurnaan
manusia agar tercipta mahluk dwidimensi
dalam satu keseimbangan, dunia-akhirat, atau ilmu dan iman.
Karena tujuan itu, maka pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu, kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Karena tujuan itu, maka pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu, kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Kebutuhan
pengetahuan akan kitab suci (tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada
aspek-aspek berikut.
1.
Tafsir sebagai
basis keimanan yang merupakan pengetahuan tertinggi nilainya, dan terdasar
kedudukannya dalam susunan pengetahuan manusia sebelum pengetahuan keilmuan
yang lain.
2.
Tafsir sebagai
konfirmasi terhadap kebenaran yang diungkap dalam pengetahuan eksploratif.
Artinya pengetahuan keimanan (informatif) dalam pendidikan Islam dan
pengetahuan ekploratif harus saling menguatkan dan membenarkan.
3.
Tafsir
berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna akan pengetahuan eksploratif yang
belum tuntas. Artinya tafsir harus dapat memberi penjelasan tentang
fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan
eksploratif.
4.
Tafsir
berfungsi sebagai pengisi nilai (value filler) terhadap pengetahuan
eksploratif. Artinya tafsir dimaksudkan sebagai pengetahuan yang dapat mewarnai
pengetahuan ekspolaratif agar tidak bebas nilai melalui penanaman nilai-nilai
transendent dan etika/moral.
5.
Tafsir berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan pesan-pesan ketuhanan agar dapat ditangkap oleh manusia. Dengan
kata lain, tafsir merupakan sarana untuk memberikan kesan membumi (indegenous)
terhadap pesan-pesan Ilahi yang bersifat suci dan transenden.[18]
Tafsir dalam wacana ilmiah yang konstruktif,
adalah merupakan lembaga ilmiah yang
sudah diterima oleh mayoritas
kelompok sesuai dengan corak dan
versi masing-masing. Sebagai konsekwensi logisnya akan muncul berbagai polaritas dan pluralitas
pendekatan sesuai dengan kecenderungan
yang dapat dipandang sebagai bias subyetifitas mufassirnya. Oleh karena
itu, dalam dunia islam didapati tafsir
yang bermacam corak, hal ini tentu karena berdasarkan disflin ilmu dan
subyaktifitasnya masing-masing, tidak
terkecuali para ahli pendidikan dengan tafsir tarbawinya.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna’, Mabahis fi Ulumul Al-Qur’an, (Kairo; Maktabah
Wahbah, 2004) terjemah Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2006)
Al-Munawar,
Said Agil, Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003)
Al-Ashfahany,
Ar-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfradat Alfaz
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt)
Buseri,
Kamrani, ReinventingPendidikan Islam
(Mengagas kembali pendidikan Islam yang lebih baik), (Banjarmasin: Antasari
Press, 2010), cet. Ke1, hl. 7
Hamidi, Ridwan, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal
04 September 2012
Munir,
Ahmad, Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, (Yogyakarta; Teras;
2008)
Nata, Abuddin , Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I),
(Jakarta: Rajawali Pers, 1993)
Nata,
Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan
(Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy),
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persado, 2010)
Shihab,
M. Quraish , Membumikan Al-Qur’an; Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2009)
Tafsir Tarbawi, http://jendelapengetahuanayub.blogspot.com/2011/06/tafsir-tarbawi.html?zx=b999329a1660abba diakses tanggal
11 September 2013
[2] Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I),
(Jakarta: Rajawali Pers, 1993), cet ketiga, hal. 123
[3]Manna’ Al-Qaththan, Mabahis
fi Ulumul Al-Qur’an, (Kairo; Maktabah Wahbah, 2004) terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta;
Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. Pertama, hal. 407
[4] Ridwan Hamidi, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal
04 September 2012
[5] Manna’ Al-Qaththan, Loc.cit.
[7] Manna’ Al-Qaththan, Op.cit. hal.
409
[8]Lihat : Said Agil al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat
Press, 2003), cet. 3 hal. 66-68
[9]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat
Al-Tarbawiy), (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persado, 2010) cet. 4, hal. 3-4
[10]Ridwan
Hamidi, Loc.cit Tafsir
tarbawi seperti juga tafsir dengan corak-corak lainnya, terkadang disusun
dengan metode tahlily dan terkadang dengan metode maudhu'i dengan kedua
teknisnya. Lihat Tafsir Tarbawi, http://jendelapengetahuanayub.blogspot.com/2011/06/tafsir-tarbawi.html?zx=b999329a1660abba diakses tanggal 11 September
2013
[11]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), cet. III,
hal. 139
[12] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan
Al-Qur’an Tentang Pendidikan,
(Yogyakarta; Teras; 2008), cet. I, hal.
8
[13]Ibid, hal. 31
[14]Lihat Ar-Raghib al-Ashfahany, Mu’jam Mufradat Alfradat Alfaz al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 535
[15] Ahmad Munir, Op.cit., hal. 33
[16] Ahmad Munir, Op.cit, hal. 8
[17]Kamrani Buseri menyebut
pendidikan sebagai upaya untuk
memanusiakan manusia, terkait dengan nilai-nilai mengenai manusia
itu sendiri yakni apa itu manusia, apa
tujuan dari penciptaan manusia,
bagaimana manusia yang ideal, bagaimana hubungan antar manusia, manusia dengan
alam semesta, serta bagaimana
hubungannya dengan sang pencipta. Lihat Kamrani Buseri, ReinventingPendidikan Islam (Mengagas kembali
pendidikan Islam yang lebih baik), (Banjarmasin: Antasari Press, 2010),
cet. Ke1, hl. 7
[18] Tarfsir Tarbawi, Loc.cit.
[19] Ahmad Munir, Op.cit, hal. 10
No comments:
Post a Comment